BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam BAB ini akan dibahas tentang hukum badan
pribadi. Pembahasan ini menekankan pada pengertian dasar dan status badan
pribadi. Sistematika pembahasan yang diikuti adalah sistematika ilmu
pengetahuan hukum. Dalam sistematika tersebut hukum badan pribadi ditempatkan
dalam buku satu, sedangkan mengenai hukum keluarga ditempatkan dalam buku dua.
Dengan demikian, pembahasan hukum badan
pribadi, dalam bab ini meliputi pokok-pokok pembahasan mengenai: orang sebagai
subjek hukum, badan hukum, tempat tinggal, kewenangan berhak dan berbuat,
kedewasaan dan pendewasaan, pencatatan peristiwa hukum dan keadaan tak hadir.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana
pembahasan mengenai orang sebagai subjek hukum?
2.
Bagaimana
penjelasan mengenai badan hukum?
3.
Bagaimana
penjelasan mengenai tempat tinggal?
4.
Bagaimana
penjelasan mengenai kewenangan berhak dan berbuat?
5.
Bagaimana
penjelasan mengenai pendewasaan dan kedewasaan?
6.
Bagaimana
penjelasan mengenai pencatatan peristiwa hukum?
7.
Bagaimana
penjelasan mengenai keadaan tidak hadir?
C. Tujuan Penulisan
Didudunnya makalah ini agar pembaca umumnya
dapat menambah wawasannya mengenai orang sebagai subjek hukum, badan hukum,
tempat tinggal, kewenangan berhak dan berbuat, kedewasaan dan pendewasaan,
pencatatan peristiwa hukum dan keadaan tak hadir. Dan penulis khususnya lebih
memahami wawasannya mengenai bab ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ORANG SEBAGAI SUBJEK HUKUM
1.
Subjek hukum
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.
Pendukung hak dan kewajiban itu disebut orang. Pengertian orang dalam arti
hukum adalah terdiri dari manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi
adalah subjek hukum dalam arti biologis, sebagai gejala alam, sebagai makluk
budaya yang berakal, berperasaan, berkehendak.[1]
Dan ada pendapat juga bahwa subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban
menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam
sistem hukum Indonesia ialah individu (orang) dan badan hukum
(perusahaan, organisasi, institusi).[2]
Badan hukum adalah dalam arti yuridis, sebagai gejala
dalam hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum,
mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia pribadi. Secara prinsipil badan
hukum berbeda dengan manusia pribadi , perbedaannya :
a. Manusia pribadi adalah
makhluk ciptaan Tuhan, mempunyai akal, perasaan, kehendak, dan dapat mati.
Sedangkan badan hukum adalah badan ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum,
dapat dibubarkan oleh pembentuknya.
b. Manusia pribadi mempunyai
kelamin, sehingga ia dapat kawin, dapat beranak. Sedangkan badan hukum tidak.
c. Manusia pribadi dapat
menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak dapat.[3]
2.
Pengakuan sebagai subjek hukum
Pengakuan terhadap manusia pribadi sebagai subjek hukum
dapat dilakukan sejak ia masih dalam kandungan ibunya, asal ia lahir hidup (
pasal 2 KUHPdt). Hal ini mempunyai arti penting apabila kepentingan anak itu
menghendakinya, misalnya dalam menerima warisan, hibah. Asas ini dapat diikuti
dalam pembinaan hukum perdata nasional. Dalam pasal 3 KUHPdt dinyatakan bahwa
tidak ada satu hukum pun yang dapat mengakibatkan kematian perdata (
burgerlijke dood) atau kehilangan segala hak perdata. Dalam pasal 27 ayat 1 UUD
1945 dinyatakan bahwa semua warga negara adalah sama kedudukannya didalam
hukum. [4]
B.
BADAN HUKUM
1.
Klasifikasi Badan Hukum
Pengertian badan hukum menurut :
a)
Prof. Subekti
Badan hukum adalah orang yang diciptakan oleh hukum ( rechtspersoon)
b)
R. Soeroso
Badan hukum adalah suatu
perkumpulan orang-orang yang mengadakan kerjasama dan atas dasar ini merupakan
suatu kesatuan yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
hukum.[5]
Dari dua pengertian badan
hukum yang dikemukakan oleh kedua ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa badan
hukum adalah badan yang dibentuk berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku oleh
sejumlah orang yang bekerjasama untuk tujuan tertentu dan dengan demikian badan
itu memiliki hak dan kewajiban.
Badan hukum adalah subjek
hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum. Menurut ketentuan pasal 1653
KUHPdt ada tiga macam kalsifikasi badan hukm berdasarkan eksistensinya :
a. Badan hukum yang dibentuk
oleh pemerintah, adalah badan hukum yang sengaja diadakan oleh pemerintah untuk
kepentingan negara, baik lembaga negara maupun perusahaan-perusahaan milik
negra.
b. Badan hukum yang diakui oleh
pemerintah, adalah badan hukum yang dibuat oleh swasta atau pribadi warga
negara untuk kepentingan pribadi pembentuknya sendiri.
c. Badan hukum yang
diperbolehkan untuk suatu tujuan tertentu, adalah badan hukum yang tidak
dibentuk oleh pemerintahan dan tidak pula memerlukan pengakuan pemerintah dan
tidak pula memerlukan pengakuan pemerintah menurut undang-undang, tetapi
diperbolehkan karena tujuannya yang bersifat ideal dibidang sosial, pendidikan,
ilmu pengetahuan. [6]
Dilihat dari wewenang hukum yang diberikan kepada badan
hukum, maka badan hukum dapat dibagi menjadi :
a. Badan hukum publik
(kenegaraan), yaitu badan hukum yang dibentuk pemerintah, diberi wewenang
menurut hukum publik, misalnya depertemen pemerintahan, provinsi,
lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, MA dansebagainya.
b. Badan hukum privat
(keperdataan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah atau swasta,
diberi wewenang menurut hukum perdata.[7]
Dilihat dari tujuannya kependataan yang hendak dicapai
oleh badan hukum itu, maka badan hukum kependataan dibagi menjadi tiga macam:
a. Badan hukum yang bertujuan
memperoleh laba, terdiri dari perusahaan negara yaitu perusahaan umum, persero,
perjan, perusahaan swasta.
b. Badan hukum yang bertujuan
untuk memenuhi kesejahteraan para anggotanya, yaitu koperasi.
c. Badan hukum yang bertujuan
bersifat ideal dibidang sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan,
keagamaan.[8]
C.
Syarat-syarat pembentukan
badan hukum
Menurut Prof. Meyers (1948) doktrin ilmu hukum menetapkan
syara-syarat sebagai berikut :
a.
Ada harta kekayaan sendiri.
Badan hukum itu memiliki harta kekayaan sendiri terpisah
dengan harta kekayaan anggotanya, pendiri, atau pengurusnya. Harta kekayaan ini
diperoleh dari pemasukan para anggotanya. Harta kekayaan ini diperlukan sebagai
alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam hubungan hukum.
b.
Ada tujuan tertentu.
Tujuan tertentu itu bukan tujuan pribadi anggotanya atau
pendirinya. Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban melakukan sendiri
usaha mencapai tujuannya.
c.
Ada kepentingan sendiri.
Kepentingan adalah hak subjektif yang timbul dari
peristiwa hukum, yang dilindungi oleh hukum. Badan hukum yang mempunyai
kepentingan sendiri dapat menuntut dan mempertahankan kepentingannya itu
terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukum.
d.
Ada organisasi yang teratur.
Badan hukum adalah satu kesatuan organisasi bentukan
manusia berdasarkan hukum, yang hanya dapat melakukan perbuatan hukum melalui
alat perlengkapannya. Alat perlengkapan tersebut merupakan pengurus badan hukum
yang mempunyai fungsi dan tugas yang diatur dalam anggaran dasar.
Menurut Prof. Meyers, apabila keempat syarat diatas
terpenuhi, maka badan huku tersebut dapat disahkan dan diakui sebagai badan
hukum. Empat syarat diatas merupakan syarat materiil, sedangkan syarat formal
adalah pembuatan akta Notaris atau pembuatan undang-undang yang melahirkan
badan hukum itu.[9]
1.
Prosedur pembentukan badan Hukum
Pembentukan badan hukum dapat dilakukan dengan perjanjian
dan dapat pula dilakukan dengan undang-undang. Pada badan hukum yang dilakukan
dengan perjanjian, status badan hukum itu diakui oleh pemerintah melalui
pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian. Anggaran dasar itu
adalah kesepakatan yang dibuat oleh para pendirinya. Pada badan hukum yang
dibentuk dengan undang-undang, status badan hukum itu ditetapkan oleh
undang-undang.[10]
a.
Prosedur pembentukan Perseroan Terbatas
Diatur dalam kitab
undang-undang hukum dagang (KUHD), 1. Para pendiri mengadakan kesepakatan, 2.
Yang disusun dalam anggaran dasar, 3. Anggaran dasar dimuat dalam akta
pendirian yang dibuat oleh notaris ( pasal 38 ayat 1 KUHD), 4. Akta pendirian
disahkan oleh Menteri Kehakiman R.I ( pasal 27 ayat 1 KUHD), 5. Setelah
disahkan kemudian didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri, 6. Kemudian
diumumkan dalam berita negara.
b.
Prosedur Persekutuan Komanditer ( C.V)
Persekutuan Komanditer
adalah persekutuan yang dapat berbadan hukum dan dapat pula tidak berbadan
hukum. Menurut Stb. 1870-64 cara memperoleh status hukum dengan : Pengakuan
oleh menteri kehakiman, pengakuan tersebut diberikan melalui, pengesahan akat
pendirian, yang dibuat oleh notaris. Setelah disahkan kemudian didaftarkan pada
kepaniteraan Pengadilan Negeri, Kemudian diumumkan dalam berita negara.
c.
Pembentukan Koperasi
Diatur dalam UUD No.1
tahun 1967 tentang pokok-pokok perkoperasian. Prosedurnya, 1. Para pendiri
mengadakan kesepakatan, yang disusun dalam anggaran dasar, 2. Anggaran dasar dimuat dalam akta
pendirian. 3. Akta pendirian ini disampaikan kepada pejabat koperasi untuk
memperoleh pengesahan pejabat atas nama Menteri Koperasi. 3. Kemudian didaftarkan
4. Tanggal pendaftaran akta pendirian itu berlaku sebagai tanggal resmi berdiri
koperasi sebagai badan hukum. 5. Pejabat mengumumkan koperasi itu di Berita
Negara.
d.
Pembentukan Yayasan.
Mengenai yayasan ini tidak
mendapat pengaturan dalam undang-undang. Tapi Yurisprudensi dan kebiasaan di
Indonesia. Yayasan didirikan oleh pendirinya dengan menyusun anggaran dasar
yang dimuat dalam akta pendirian dan dibuat dimuka Notaris. Status hukum diperoleh
sejak didirikan akta notaris itu.
Disamping syarat formal berupa akta notaris, ada pula
syarat materiil yaitu :
a. Harus ada pemisah kekayaan
harta yayasan dengan pribadi pengurus.
b. Harus ada tujuan tertentu
yang bersifat ideal.
c. Harus ada kepentingan
yayasan.
d. Harus ada organisasi yang
dipimpin oleh pengurus yayasan.[11]
D. Tempat Tinggal
1.
Definisi
Tempat tinggal (domisili) adalah tempat dimana seseorang
tinggal / bekedudukan serta mempunyai hak dan kewajiban hukum.[12]
Domisili adalah terjemahan dari
domicile atau woonplaats yang artinya tempat tinggal. Menurut Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan domisili atau tempat kediaman itu adalahtempat di mana
seseorang dianggap hadir mengenai hal melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya
juga meskipun kenyataannya dia tidak di situ.[13]Tempat
tinggal dapat berupa wilayah/daerah atau dapat pula berupa rumah kediaman
kantor yang berada dalam wilayah/daerah tertentu.
Menurut kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya, kadang-kadang
kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap selalu
mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya melakukan kegiatannya atau
di mana ia berkediaman pokok. Kadang-kadang menetapkan tempat kediaman
seseorang itu sulit, karena selalu berpindah-pindah (banyak rumahnya). Untuk
memudahkan hal tersebut dibedakan antara tempat kediaman hukum (secara yuridis)
dan tempat kediaman yang sesungguhnya.[14]
2.
Hak dan Kewajiban
Hak dan kewajiban ini dapat timbul dalam bidang
hukum public dan dapat pula dalam bidang hukum perdata. Hak dan kewajiban dalam
bidang hukum publik[15],
misalnya:
a.
Hak mengikuti
pemilihan umum.
b.
Kewajiban
membayar pajak bumi dan bangunan.
c.
Kewajiban
membayar pajak kendaraan bermotor.
Hak dan kewajiban dalam bidang hukum perdata,
misalnya:
a.
Jika dalam
perjanjian tidak ditentukan tempat pembayaran, debitur wajib membayar di tempat
tinggal kreditur. Jadi, hak kreditur dipenuhi di tempat tinggalnya (pasal 1393
ayat 2 KUHPdt).
b.
Debitur wajib
membayar wessel/cek kepada pemegangnya (kreditur) di tempat tinggal / alamat debitur
(pasal 137 KUHD)
c.
Debitur berhak
menerima kredit dari kreditur (bank) di kantor kreditur (bank).
3.
Status
Hukum
Status hukum seseorang juga menentukan tempat tinggalnya,
sehingga akan menentukan pula hak dan kewajiban menurut hukum. Dengan demikian,
hak dan kewajiban hukum mengikuti tempat tinggal yang ditentukan itu.[16]
4.
Jenis tempat
tinggal
Dilihat dari segi terjadinya peristiwa hukum,
tempat tinggal itu digolongkan empat jenis, yaitu:
a.
Tempat tinggal
yuridis
Tempat tinggal yuridis terjadi karena
peristiwa hukum kelahiran, perpindahan atau mutasi. Tempat tinggal yuridis dibuktikan
oleh kartu tanda penduduk (KTP) atau bukti-bukti lain. Tempat tinggal yuridis adalah
tempat tinggal utama.[17]
b.
Tempat tinggal
nyata
Tempat tinggalnya terjadi karena peristiwa
hukum keberadaan yang sesungguhnya. Umumnya dibuktikan dengan kehadiran selalu
di tempat itu. Tempat tinggalnyata sifatnya sementara.
c.
Tempat tinggal
pilihan Tempat tinggal pilihan
terjadi karena peristiwa hukum membuat perjanjian, dan tempat tinggal itu di pilih
oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian
itu. Dibuktikan oleh akta otentik yang mereka buat di muka Notaris.
d.
Tempat tinggal
ikutan
Tempat tinggal ikutan atau bergantung terjadi
karena peristiwa hukum keadaan status hukum seseorang yang di tentukan oleh undang-undang,
misalnya:
a) Tempat tinggal isteri sama dengant empat tinggal
suami (pasal 32 UU No. 1Tahun 1974)
b) Tempat tinggal anak mengikuti tempat tinggal
orang tua( pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974)
c) tempat tinggal orang di bawah pengampuan mengikuti
tempat tinggal pengampunya. (pasal 50 UU No.1 Tahun 1974)
Pembuktiannya
melalui akta perkawinan, kartu keluarga atau KTP Orang tua, putusan pengadilan tentang
penunjukan wali pengampu.[18]
5. Arti penting tempat tinggal
Arti
penting (relevansi) tempat tinggal bagi seseorang atau badan hukum ialah dalam hal
pemenuhan hak dan kewajiban, penentuan status hukum seseorang dalam lalulintas hukum,
dan berurusan dengan pengadilan.[19]
Untuk
menentukan atau menunjukan suatu tempat di mana berbagai perbuatan hokum
harusdilakukan, misalnya mengajukan gugatan, pengadilan mana yang berwenang mengadili.[20]
Tempat tinggal juga menentukan
apabila seseorang berurusan/berpekara di muka pengadilan. Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perkara perdata adalah yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat (pasal 118 HIR).[21]
E. Kewenangan Berhak dan Berbuat
1.
Kewenangan
Berhak
Manusia
pribadi mempunyai kewenangan berhak sejak ia dilahirkan, bahkan sejak dalam
kandungan ibunya, asal ia lahir hidup apabila kepentingannya menghendaki (pasal
2 KUHpdt). Kewenangan berhak berlangsung terus hingga akhir hayat.
Kewenangan
berhak setiap manusia pribadi tidak dapat dihilangkan/ditiadakan oleh suatu
hukuman apapun. Hak perdata merupakan hak asasi yang melekat pada diri pribadi
setiap orang. Hak perdata adalah identitas manusia pribadi yang tidak dapat
hilang atau lenyap. Identitas ini baru hilang atau lenyap apabila yang
bersangkutan meninggal dunia. Contoh hak perdata ialah hak hidup, hak memiliki,
hak untuk kawin, hak untuk beranak (bagi wanita), hak waris, hak atas nama, hak
atas tempat tinggal.[22]
Namun demikian ada faktor yang mempengaruhi
kewenagan berhak seseorang yang sifatnya membatasi, yaitu antara lain:
a.
Kewarganegaraan
Contoh
yang membatasi kewenangan berhak WNA di Indonesia adalah: tarif pajak lebih
tinggi, tidak boleh berpolitik dan ber-ideologi, terbatas dalam kegiatan
perseroan dan perkumpulan, tidak boleh duduk dalam pemerintahan.
b.
Tempat
Tinggal
Contoh,
seseorang yang berdomisili di Batam tidak boleh menjadi pemilih dalam Pemilu
Walikota di Tanjung Pinang.
c.
Kedudukan
/ Jabatan
Contoh,
seorang hakim dan pejabat hukum tidak boleh memiliki baarang-barang dalam
perkara yang dilelang atas dasar keputusan pengadilan.
d.
Tingkah
Laku / Perbuatan
Contoh,
kekuasaan orang tua / wali dapat dicabut oleh pengadilan ika oranr tua / wali
tersebut pemabuk atau suka aniaya, dsb.
e.
Jenis Kelamin dan Hal Tiada di tempat
Contoh,
antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan hak dan kewajiban. Dikatakan hal
tiada di tempat / keadaan tidak hadir apabila tidak ada kabar atau
pemberitahuan untuk waktu yang cukup lama (5 tahun berturut-turut). Bisa
disebabkan meninggal, tidak tahu asal-usul, dsb.[23]
2.
Kewenangan
berbuat
Untuk
mengetahui apakah seseorang itu wenang berbuat atau tidak, ada beberapa faktor
yang membatasi yaitu, umur, kesehatan, perilaku. Wenang berbuat ada dua
pengertian yaitu:
a)
Cakap
atau mampu berbuat karena memenuhi syarat hukum (bekwaam, capable), kecakapan
atau kemampuan berbuat karena memenuhi syarat hukum (bekwaambheid, capacity);
b)
Kuasa
atau berhak berbuat karena diakui oleh hukum walaupun tidak memenuhi syarat
hukum (bevoegd, competent), kekuasaan atau kewenangan berbuat (bevoegdheid,
competence).
Pada
dasarnya setiap orang dewasa adalah cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum
karena memenuhi syarat umur menurut hukum. Tetapi apabila orang dewasa itu
dalam keadaan sakit ingatan atau gila, tidak mampu mengurus dirinya sendiri
karena boros, maka ia disamakan dengan orang belum dewasa dan oleh hukum
dinyatkan sebagai tidak cakap atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum
(onbekwaan, incapable, pasal 330 KUHpdt).
Kepentingan
orang yang tidak cakap atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum diurus oleh
pihak yang mewakilinya. Kepentingan anak yang belum dewasa diurus oleh orang
tuanya (pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974). Kepentingan anak yang berada dibawah
perwakilan diurus oleh walinya (pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974). Kepentingan
orang dewasa yang berada dibawah pengampuan diurus oleh wali pengampunya (pasal
433 KUHpdt).
Tidak
setiap orang yang belum dewasa dinyatakan tidak wenang melakukan perbuatan
hukum. Ada perbuatan hukum tertentu dapat dilakukan oleh orang yang belum
dewasa karena diakui oleh hukum. Anak wanita yang berumur 16 tahun dan anak
pria yang berumur 19 tahun dapat melakukan perkawinan, walaupun mereka belum
dewasa menurut hukum, karena hukum mengakui perbuatan mereka itu (pasal 7 ayat
1 UU No. Tahun 1974).
Orang
dewasa yang tidak berkepentingan tidak wenang melakukan perbuatan hukum,
misalnya seseorang penyewa rumah tidak wenang menjual rumah yang disewanya itu
kepada pihak lain karena rumah itu bukan miliknya. Tetapi apabila ia memperoleh
kuasa atau diberi hak oleh pemiliknya untuk menjualkan rumah itu, maka ia
berwenang melakukan perbuatan hukum menjual rumah tersebut karena diakui oleh
hukum, walupun rumah itu bukan miliknya. Jadi, walaupun orang dewasa, belum
tentu pula wenang melakukan perbuatan hukum dalam segala hal.[24]
F.
Kedewasaan
dan Pendewasaan
1.
Menurut
Konsep Hukum Perdata Barat
Istilah
“kedewasaan” menunjuk kepada keadaan sudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum.
Sedangkan istilah “pendewasaan” menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh
hukum dinyatakan dewasa.
Menurut
ketentuan pasal 330 KUHPdt belum dewasa (minderjaring) adalah belum berumur 21
tahun penuh dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin sebelum berumur
21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
Keadaan
dewasa yang memenuhi syarat undang-undang ini disebut kedewasaan. Orang dewasa
atau dalam kedewasaan cakap atau mampu (bekwaam, capable) melakukan semua
perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, melakukan perkawinan, membuat
surat wasiat. Kecakapan hukum ini berlaku penuh selama tidak ada faktor-faktor
yang mempengaruhi atau membatasinya, misalnya keadaan sakit ingatan, keadaan
dungu, pemboros (pasal 433 jo. pasal 1330 KUHPdt).
Dari
kenyataan diatas tadi dapat diketahui bahwa B.W. atau KHUPdt memakai kriteria
umur untuk menentukan dewasa atau belum dewasa. Tetapi inipun tidak mutlak,
karena kenyataannya walupun belum berumur 21 tahun penuh apabila sudah pernah
kawin dinyatakan juga sebagai dewasa. Atau walaupun belum berumur 21 tahun
penuh apabila kepentingannya menghendaki, ia dapat dinyatakan dewasa untuk
kawin, untuk membat surat wasiat (pasal 29 dan pasal 897 KUHPdt).
Pendewasaan
itu ada dua macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa
perbuatan hukum tertentu (terbatas). Kedua-duanya harus memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya ialah sudah
berumur 20 tahun. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah
berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPdt).
Untuk
pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan
kepada Presiden R.I. dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainya.
Presiden setelah mendengarkan pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan
keputusannya. Keputusan pernyataan dewasa ini disebut “ venia aetatis”.
Untuk
pendewasan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri dengan akta kelahiran
atau surat bukti lainnya. Pengadialn Negeri setelah mendengar keterangan orang
tua atau wali yang bersangkutan memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam
perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya
perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat.[25]
2. Menurut Konsep Hukum Adat
Hukum
adat tidak mengenal batas umur untuk menentukan belum dewasa atau sudah dewasa.
Hukum adat menentukan secara insidental saja apakah seseorang itu, berhubung
umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau
tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu
pula.
Prof.
M.M. Djojodiguno, S.H. (1958) menyatakan bahwa batas antara belum dewasa dan
dewasa hanya dapat dilihat dari “belum cakap dan cakap melakukan melakukan
perbuatan hukum”.
Apabila
kedewasaan ini dihubungkan dengan perbuatan kawin, maka Prof. M.M. Djojodiguno,
S.H. hukum adat mengakui kenyataan apabila seorang pria dan seorang wanita dan
dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun.
Dalam
undang-undang (Stb. 1931-54) yang juga berlaku bagi orang Indonesia yang tunduk
pada hukum adat, apabila dijumpai istilah “belum dewasa”, ini berarti belum
berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu putus
sebelum dicapai umur 21 tahun penuh, orang itu tetap dinyatakan dewasa.[26]
3. Menurut Undang-Undang R.I Sekarang
Berdasarkan
Undang-undang R.I. yang berlaku hingga sekarang, pengertian belum dewasa dan
dewasa dapat dinyatakan seragam untuk semua warga negara Indonesia. Dikatakan
belum dewasa apabila belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin.
Ketentuan
belum dewasa dan dewasa terdapat dalam undang-undang berikut ini:
a) Pasal 330 KUHPdt bagi warga negara Indonesia
Keturunan Eropa;
b) Stb. 1924-556 bagi warga negara Indonesia
keturunan timur asing bukan Cina;
c) Stb. 1924-557 bagi warga negara Indonesia
keturunan timur asing Cina;
d) Stb. 1931-54 bagi warga negara Indonesia asli
(Bumiputra)
Berlakunuya
undang-undang tersebut diatas didasarkan pada aturan peralihan UUD ’45, bahwa sebelum dibentuk undang-undang
baru (dalam hal ini mengenai kedewasaan) berdasarkan UU ini, semua peraturan
hukum perundang-undangan yang sudah ada tetap dinyatakan berlaku. Undang-undang
yang dibuat oleh pembentuk undang-undang R.I. belum ada yang merumuskan
pengertian belum dewasa sebagai pencabutan keempat undang-undang yang
disebutkan terdahulu.
Apabila
dalam undang-undang dijumpai istilah belum dewasa (minderjarig), itu berarti
belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin. Sebaliknya apabila dalam
undang-undang dijumpai istilah dewasa (meerderjarig), itu berarti sudah berumur
21 tahun penuh, atau walaupun belum berumur 21 tahun penuh, ia sudah kawin.
Pengertian
sudah berumur 21 tahun penuh atau sudah pernah kawin disebut dewasa
undang-undang (dewasa hukum). Disamping itu masih dikenal dewasa biologis atau
dewasa seksual untuk melangsungakan perkawinan, yaitu sudah mencapai umur 16
tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Mereka yang dewasa biologis ini
apabila sudah melangsungkan perkawinan berubah menjadi dewas hukum.[27]
G. Pencatatan peristiwa Hukum
1.
Peristiwa
Hukum Yang di catat
Untuk
memastikan peristiwa status perdata seseorang, ada lima peristiwa hukum dalam
kehidupan manusia yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu peristiwa:[28]
a.
Kelahiran,
untuk menentukan status hukum seseorang sebagai subjek hukum hukum, yaitu
pendukung hak dan kewajiban.
b.
Perkawinan,
untuk menentukan status hukum seseorang sebagai suami atau istri dalam ikatan perkawinan.
c.
Perceraian,
untuk menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda, yang bebas
dari ikatan perkawinan.
d.
Kematian,
untuk menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris, sebagai janda atau
duda dari almarhum/almarhumah.
e.
Penggantian
nama, untuk menentukan status hukum seseorang engan identitas tertentu dalam
hukum perdata.
2.
Tujuan
pencatatan
Tujuan
pencatatan ialah untuk memperoleh kepastian hukum tentang status hukum perdata
seseorang yang mengalami status hukum tersebut. Kepastian hukum sangat penting
dalam perbuatan hukum. Kepastian hukum itu menentukan apakah ada hak dan
kewajiban hukum yang sah antara pihak-pihak yang berhubungan dengan hukum
tersebut.
Kepastian
hukum mengenai kelahiran menentukan staus perdata mengenai dewasa atau belum
dewasa seseorang. Kepastian hukum mengenai perkawinan menentukan status perdata
mengenai boleh atau tidak melangsungkan perkawinan dengan pihak yang lain lagi.
Kepastian hukum mengenai perceraian menentukan status perdata untuk bebas untuk
mencari pasangan lain. Kepastian hukum mengenai kematian, menentukan status
perdat sebagai ahli waris dan keterbukaan waris.
3.
Fungsi pencatatan
Fungsi
pencatatan itu ialah pembuktian bahwa peristiwa hukum yang dialami oleh
seseorang itu telah benar-benar terjadi. Untuk membuktikan bahwa benar telah
terjadi peristiwa hukum, diperlukan surat keterangan yang menyatakan telah
terjadi peristiwa hukum. surat keterangan tersebut yang menyatakan telah
terjadi peristiwa hukum pada hari, tanggal, tahun, di tempat tertentu. Yang
memberikan surat keterangan itu atas nama seseorang pejabat/petugas yang
menangani atau berwenag untuk kasus tersebut.
Surat
keteranagan kelahiran diberikan oleh dokter atau bidan rumah sakit/klinik’ yang
menangani peristiwa kelahiran itu. Surat keterangan diberi oleh dokter rumah
sakit yang merawatnya atau oleh kepala kelurahan/desa tempat tingal yang
bersangkutan. Surat keterangan kawin dibuat oleh petugas yang menyaksikan
peristiwa perkawinan itu. Surat keterangan perceraian berupa putusan pengadilan
diberikan oleh Pengadilan Negri bagi yang bukan beragama islam dan oleh
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Surat keteranggan ganti nama
diberikan oleh Pengadilan Negri dalam bentuk Surat ketetapan.
4.
Lembaga
catatan sipil
Untuk melakukan pencatatan,maka di
bentuk lembaga kusus yang disebut catatan sipil (Burgerlijke Stand). Catatan
sipil artinya catatan mengenai peristiwa perdata yang di alami oleh seseorang.
Catatan sipil meliputi kegiatan pencatatan peristiwa hukum yang berlaku umum
untuk semua warga negara Indonesia dan yang berlaku khusus untuk warga Negara Indonesia yang beragama islam
mengenai perkawinan dan perceraian. Lembaga catatan sipil yang berlaku umum
secara struktural berada dibawah Departemen dalam Negeri. Sedangkan Lembaga
Catatan Sipil yang berlaku khusus untuk yang beragama Islam secara struktural
berada dibawah Departemen Agama.
Untuk menyelengarakan tugas
pencatatan, Lembaga catatan sipil umum mempunyai kantor ditiap kabupaten/kota
madya. Sedangkan Lembaga Catatan Sipil khusus merupakan bagian tugas dari
kantor Departemen Agama di daerah. Kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi
sebagai berikut;[29]
a.
Mencatat
dan menerbitkan kutipan akta kelahiran
b.
Mencatat
dan menerbitkan kutipan akta kelahiran
c.
Mencatat
dan menerbitkan kutipan akta perceraian
d.
Mencatat
dan menerbitkan kutipan akte kematian
e.
Mencatat
dan menerbitkan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak, dan akta ganti nama
5.
Sarat
dan prosedur pencatatan
Untuk dapat dilakukan pencatatan peristiwa
hukum perlu dipenuhi syarat, yaitu adanya surat keterangan yang menyatakan
telah terjadi peristiwa hukum yang bersangkutan. Surat keterangan ini dibuat
oleh pihak yang berhak mengurus, menangani atau mengeluarkannya. Surat
keterangan tersebut kemudian dibawa oleh yang berkepetingan kepada pejabat
kantor catatan sipil untuk dicatat atau didaftarkan dalam buku akta yang
disediakan untuk setiap peristiwa hukum.
Apabila peristiwa hukum itu telah
melampaui waktu untuk didaftarkan, maka untuk dapat dilakukan pencatatan atau
pendaftaran perlu ada surat penetapan dari hakim misalnya, penetapan hakim
pengadilan negri mengenai kelahiran, penetapan hakim pengadilan agama mengenai
perkawinan orang yang beragama islam.
Sebagai bukti telah dicatat atau
didaftarkan, pejabat kantor catatan sipil menerbitkan kutipan akta, seperti
kutipan akta kelahiran, kutipan akta kelahiran, kutipan akta perkawinan,
kutipan akta kematian, kutipan akta perceraian. Kutipan akta ini bersifat
otentik karena dikeluarkan oleh pejabat resmi (akta ambtelijk).
6.
Pengaturan
catatan sipil indonesia
Sebagai akibat dari pelaksanaan politik
hukum kolonial di Indonesia dahulu, maka terdapat berbagai peraturan
perundang-undagan yang mengatur tentang catatan sipil di indonesia.
undang-undang tersebut adalah berikut:[30]
a.
Reglemen
catatan sipil Stb.1849-25 tentang pencatatan perkawinan dan penceraian bagi
warga negara Indonesia keturunan eropa.
b.
Reglemen
catatan sipil Stb.1917-130 jo.Stb.1919-81 tentang pencatatan perkawinan dan
perceraian bagi warga negara Indonesia keturunan cina.
c.
Reglemen
catatan sipil Stb.1933-75 jo.Stb.1936-607 tentang pencatatan pekawinan dan
perceraian bagi warga negara Indonesia yang beragama keristen di jawa, madura,
minahasa, ambon, dan sebagainya.
d.
Reglemen
catatan sipil Stb.1904-279 tentang pencatatan perkawinan dan perceraian bagi
warga negara Indonesia perkawinan campuran.
e.
Reglemen
catatan sipil Stb.1920-751 jo.Stb.1927 -564 tentang pencatatan kelahiran dan
kematian bagi warga negara Indonesia asli di jawa dan madura.
f.
B.W.
Stb.1847-23 yang mengatur pencatatan sipil lainnya.
g.
Undang-undang
no 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk bagi warga negara
Indonesia beragama islam.
Dari tujuh undang-undang mengenai catatan
sipil tersebut diatas tadi, maka dapat dihimpun tiga macam catatan sipil,yaitu;
1.
Catatan
sipil untuk warga negara indonesia tentang:
a.
kelahiran, b. kematian, c. pengantian nama.
2.
Catatan
sipil untuk warga negara indonesia non islam tentang:
a.
perkawinan, b. perceraian.
3.
Catatan
sipil untuk warga negara Indonesia beragama islam tentang :
a.
perkawinan, b. perceraian.
Untuk
penyelenggaraan catatan sipil di Indonesia, pada tahun 1966 di keluarkan
instruksi presiden cabinet No. 31/U/IN/12/66 di tunjukan kepada menteri
kehakiman dan kantor catatan sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggolongkan
penduduk Indonesia berdasarkan pasal 131 I.S. Selanjutnya kantor catatan sipil
di Indonesia terbuka untuk seluruh penduduk Indonesia dan warga Negara asing.
Untuk mempertegas instruksi tersebut,
Menteri kehakiman dan Menteri dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran Bersama No.
51/I/3/J.A: 2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 yang pada pokok isinya menghilangkan
pembatasan berlaku, dalam arti diberlakukan untuk semua penduduk Indonesia (WNI
dan WNA) di seluruh Indonesia yang tergolong dalam masing-masing stb, berikut
ini:[31]
a.
Stb.
1920-751 jo. Stb.1972-564 mengenai kelahiran dan kematian;
b.
Stb.
1933-751 jo. Stb.1936-607 mengenai pendaftaran perkawinan dan perceraian.
Dengan
berlakunya staatblad-staatblad tersebut diatas untuk seluruh Indonesia, maka
tercapainya keseragaman hukum catatan sipil mengenai hal-hal berikut ini:
a.
Stb.
1920-751 jo. Stb.1972-564 mengenai kelahiran dan kematian bagi seluruh warga
Indonesia dan warga Negara asing di Indonesia;
b.
Stb.
1933-751 jo. Stb.1936-607 mengenai pendaftaran perkawinan dan perceraian bagi
seluruh warga Indonesia dan warga Negara asing yang bukan beragama islam di
Indonesia.
c.
Undang-undang
No.32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk bagi warga Negara Indonesia beragama
islam.
Dalam pasal 4 ayat 1 S.K. Menteri
Dalam Negeri No.54 Tahun 1983 ditetapkan tiga tipe organisasi kantor catatan
sipil, yaitu;
a.
Organisasi
kantor catatan sipil tipe A
b.
Organisasi
kantor catatan sipil tipe B
c.
Organisasi
kantor catatan sipil tipe C
Kantor
catatan sipil tipe A dan B mempuntai kantor tersendiri dan kepala kantor
sendiri. Sedangkan tipe C mempunyai kantor yang masih bergabung dengan Bagian
Pemerintahan Kabupaten/Kotamadya, kepalanya dirangkap oleh kepala bagian
pemerintahan.
H.
Keadaan
tidak hadir
1.
Definisi
Keadaan
tak hadir (afwezigheid) adalah keadaan tidak adanya sseseorang di tempat
kediamannya karena bepergian atau meninggalkan tempat kediaman baik dengan izin
atau tanpa izin. Dam tidak diketahui dimana tempat ia berada. [32]
Keadaan
tidak hadir diatur dalam bab ke 18 burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang
Perdata). Dari pasal 463 BW dapat diketahui bahwa keadaan tidak hadir terdiri
dari beberapa unsur,[33]
yaitu:
a.
Meninggalkantempatkediamannya
b.
Tanpamemberikuasa
orang lain untukmewakiliya
c.
Tidakmenunjuk
orang lainuntukmenguruskepentingannya.
d.
Kuasa
yang diberikantelahgugur
e.
Jika timbul keadaan yang memaksa untuk
menanggulangi pengurusan hartabenda yang keseluruhan atau sebagian.
f.
Untuk
mengangkat seorang wakil, harus diadakan tindakan-tindakan hukum untuk
mengisikekosongansebagaiakibatketidakhadirantersebut.
g.
Mewakili
dan mengurus kepentingan orang yang tidak hadir,
tidakhanyameliputikepentinganhartakekayaansaja, melainkanjugauntukkepentingan –
kepentinganpribadinya.
Menurut Tan Thong Kie, keadaan tidak hadir dapat
dibagi kedalam tiga masa, yaitu:
Masa
yang pertama terjadi apabila seseorang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa mewakilkan
kepentinganya kepada seseorang. Pada keadaan ini tindakan sementara hanya diambil
jika ada alasan yang mendesak untuk mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya.
Tindakan
sementara tersebut dimintakan kepada pengadilan Negeri oleh orang yang
mempunyai kepentingan harta kekayaan atau jaksa.
Selanjutnya
hakim akan memerintahkan kepada Balai Harta peninggalan untuk mengurus seluruh atau
sbagian harta serta kepentingan orang yang tidak hadir. Kemudian Balai Harta peninggalan
memliki kewajiban untuk
a)
Membuat catatan
harta yang pengurusannya diserahkan kepadanya, jika perlu sebelumnya disegel dulu
b)
Membuat daftar
pencatatan harta, surat-surat lain, dan uang kontan serta kertas berharga ke kantor
balai Harta peninggalan.
c)
Memperhatikan
segala ketentuan untuk seorang wali mengenai pengurusan harta seorang anak,
kecuali diperintahkan lain olehseorang
hakim
d)
Memberi pertanggungjawaban
setiap tahun kepada jaksa dengan memperlihatkan surat-surat “pengurusan dan efek”
.[34]
BAB III
KESIMPULAN
Subjek hukum adalah pendukung
hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban itu disebut orang. Pengertian
orang dalam arti hukum adalah terdiri dari manusia pribadi dan badan hukum.
Manusia pribadi adalah subjek hukum dalam arti biologis, sebagai gejala alam,
sebagai makluk budaya yang berakal, berperasaan, berkehendak. Badan hukum
adalah dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai
badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban seperti
manusia pribadi.
Tempat tinggal (domisili)
adalah tempat dimana seseorang tinggal/bekedudukan serta mempunyai hak dan
kewajiban hukum. Manusia pribadi mempunyai
kewenangan berhak sejak ia dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan ibunya,
asal ia lahir hidup apabila kepentingannya menghendaki (pasal 2 KUHpdt).
Kewenangan berhak berlangsung terus hingga akhir hayat. Kewenangan berbuat
adalah suatu pembahsan untuk mengetahui apakah seseorang itu wenang berbuat
atau tidak, ada beberapa faktor yang membatasi yaitu, umur, kesehatan,
perilaku.
Istilah “kedewasaan” menunjuk kepada keadaan sudah
dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah “pendewasaan” menunjuk
kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan dewasa. Untuk memastika peristiwa
status perdata seseorang, ada lima peristiwa hukum dalam kehidupan manusia yang
perlu dilakukan pencatatan, yaitu kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian,
dan penggantian nama.
Keadaan tak hadir
(afwezigheid) adalah keadaan tidak adanya sseseorang di tempat kediamannya karena
bepergian atau meninggalkan tempat kediaman baik dengan izin atau tanpa izin.
Dam tidak diketahui dimana tempat ia berada
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata
Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), 2000, cet III
Priwirohamidjojo, R Soetojo dan Marthalenapohan, Hukum
Orang dan Keluarg, (Surabaya: Airlangga University Press, 1991)
Kie, Tan Thong, Studinotariat dan serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Inchtiar Baru Van Hoeve, 2007)
http://gumilar69.blogspot.com/2013/06/domisili-dalam-hukum-perdata.html
[1] Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti),
2000, cet III, hal.27
[4] Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti),
2000, cet III, hal 28
[5] http://equityjusticia.blogspot.com/2013/09/badan-hukum-sebagai-subjek-hukum.html
diakses pada 18 Oktober 2014, pkl 01.00
[6] Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti),
2000, cet III, hal 30
[12]Abdulkadir Muhammad HukumPerdata
Indonesia (Bandung:PT Citra Aditya Bakti,2000), hlm.35
[13]http://kuliahade.wordpress.com/2010/03/27/hukum-perdata-domisilitempat-tinggal/
[14]http://gumilar69.blogspot.com/2013/06/domisili-dalam-hukum-perdata.html,
di aksespada, pkl: 15:57 jumat, 24/10/2014
[17]Abdulkadir Muhammad HukumPerdata
Indonesia (Bandung:PTCitra Aditya Bakti,2000), hlm.37
[20]http://kuliahade.wordpress.com/2010/03/27/hukum-perdata-domisilitempat-tinggal/. Diaksespada 24/10/2014,
pkl 14:27
[21]http://gumilar69.blogspot.com/2013/06/domisili-dalam-hukum-perdata.html
DomisiliDalamHukumPerdata, diaksespada 23/10/2014 pkl20:13 wib
[22] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,
(Bandung, PT. CITRA ADITYA BAKTI, 2000), cet. Ke-III, hal. 39.
[23] http://tisna2008.wordpress.com/2009/06/03/hukum-perdata/ diakses
pada 23 oktober 2014 pukul 07.54 Wib.
[25] Ibid.
hal. 41-43.
[32]Abdulkadir
Muhammad HukumPerdata Indonesia (Bandung:PT
Citra Aditya Bakti,2000), hlm 53
[33]R.soetojoPriwirohamidjojodanMarthalenapohan,
Hukum Orang danKeluarga(PersonenFemilierecht), (Surabaya: Airlangga
University Press, 1991), hlm 242
[34] Tan
Thong Kie, StudinotariatdanserbaSerbiPraktekNotaris, (Jakarta:InchtiarBaru
Van Hoeve, 2007) hlm 44-45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar