Minggu, 03 Mei 2015

HUKUM BADAN PRIBADI

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam BAB ini akan dibahas tentang hukum badan pribadi. Pembahasan ini menekankan pada pengertian dasar dan status badan pribadi. Sistematika pembahasan yang diikuti adalah sistematika ilmu pengetahuan hukum. Dalam sistematika tersebut hukum badan pribadi ditempatkan dalam buku satu, sedangkan mengenai hukum keluarga ditempatkan dalam buku dua.
Dengan demikian, pembahasan hukum badan pribadi, dalam bab ini meliputi pokok-pokok pembahasan mengenai: orang sebagai subjek hukum, badan hukum, tempat tinggal, kewenangan berhak dan berbuat, kedewasaan dan pendewasaan, pencatatan peristiwa hukum dan keadaan tak hadir.
B.  Rumusan masalah
1.    Bagaimana pembahasan mengenai orang sebagai subjek hukum?
2.    Bagaimana penjelasan mengenai badan hukum?
3.    Bagaimana penjelasan mengenai tempat tinggal?
4.    Bagaimana penjelasan mengenai kewenangan berhak dan berbuat?
5.    Bagaimana penjelasan mengenai pendewasaan dan kedewasaan?
6.    Bagaimana penjelasan mengenai pencatatan peristiwa hukum?
7.    Bagaimana penjelasan mengenai keadaan tidak hadir?
C.  Tujuan Penulisan
Didudunnya makalah ini agar pembaca umumnya dapat menambah wawasannya mengenai orang sebagai subjek hukum, badan hukum, tempat tinggal, kewenangan berhak dan berbuat, kedewasaan dan pendewasaan, pencatatan peristiwa hukum dan keadaan tak hadir. Dan penulis khususnya lebih memahami wawasannya mengenai bab ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      ORANG SEBAGAI SUBJEK HUKUM
1.    Subjek hukum
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban itu disebut orang. Pengertian orang dalam arti hukum adalah terdiri dari manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subjek hukum dalam arti biologis, sebagai gejala alam, sebagai makluk budaya yang berakal, berperasaan, berkehendak.[1] Dan ada pendapat juga bahwa subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia  ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).[2]
Badan hukum adalah dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia pribadi. Secara prinsipil badan hukum berbeda dengan manusia pribadi , perbedaannya :
a.       Manusia pribadi adalah makhluk ciptaan Tuhan, mempunyai akal, perasaan, kehendak, dan dapat mati. Sedangkan badan hukum adalah badan ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum, dapat dibubarkan oleh pembentuknya.
b.      Manusia pribadi mempunyai kelamin, sehingga ia dapat kawin, dapat beranak. Sedangkan badan hukum tidak.
c.       Manusia pribadi dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak dapat.[3]

2.      Pengakuan sebagai subjek hukum
Pengakuan terhadap manusia pribadi sebagai subjek hukum dapat dilakukan sejak ia masih dalam kandungan ibunya, asal ia lahir hidup ( pasal 2 KUHPdt). Hal ini mempunyai arti penting apabila kepentingan anak itu menghendakinya, misalnya dalam menerima warisan, hibah. Asas ini dapat diikuti dalam pembinaan hukum perdata nasional. Dalam pasal 3 KUHPdt dinyatakan bahwa tidak ada satu hukum pun yang dapat mengakibatkan kematian perdata ( burgerlijke dood) atau kehilangan segala hak perdata. Dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa semua warga negara adalah sama kedudukannya didalam hukum. [4]
B.  BADAN HUKUM
1.    Klasifikasi Badan Hukum
Pengertian badan hukum menurut :
a)      Prof. Subekti
Badan hukum adalah orang yang diciptakan oleh hukum ( rechtspersoon)
b)      R. Soeroso
Badan hukum adalah suatu perkumpulan orang-orang yang mengadakan kerjasama dan atas dasar ini merupakan suatu kesatuan yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum.[5]
Dari dua pengertian badan hukum yang dikemukakan oleh kedua ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa badan hukum adalah badan yang dibentuk berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku oleh sejumlah orang yang bekerjasama untuk tujuan tertentu dan dengan demikian badan itu memiliki hak dan kewajiban.
Badan hukum adalah subjek hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum. Menurut ketentuan pasal 1653 KUHPdt ada tiga macam kalsifikasi badan hukm berdasarkan eksistensinya :
a.       Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah, adalah badan hukum yang sengaja diadakan oleh pemerintah untuk kepentingan negara, baik lembaga negara maupun perusahaan-perusahaan milik negra.
b.      Badan hukum yang diakui oleh pemerintah, adalah badan hukum yang dibuat oleh swasta atau pribadi warga negara untuk kepentingan pribadi pembentuknya sendiri.
c.       Badan hukum yang diperbolehkan untuk suatu tujuan tertentu, adalah badan hukum yang tidak dibentuk oleh pemerintahan dan tidak pula memerlukan pengakuan pemerintah dan tidak pula memerlukan pengakuan pemerintah menurut undang-undang, tetapi diperbolehkan karena tujuannya yang bersifat ideal dibidang sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan. [6]
Dilihat dari wewenang hukum yang diberikan kepada badan hukum, maka badan hukum dapat dibagi menjadi :
a.       Badan hukum publik (kenegaraan), yaitu badan hukum yang dibentuk pemerintah, diberi wewenang menurut hukum publik, misalnya depertemen pemerintahan, provinsi, lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, MA dansebagainya.
b.      Badan hukum privat (keperdataan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah atau swasta, diberi wewenang menurut hukum perdata.[7]
Dilihat dari tujuannya kependataan yang hendak dicapai oleh badan hukum itu, maka badan hukum kependataan dibagi menjadi tiga macam:
a.       Badan hukum yang bertujuan memperoleh laba, terdiri dari perusahaan negara yaitu perusahaan umum, persero, perjan, perusahaan swasta.
b.      Badan hukum yang bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan para anggotanya, yaitu koperasi.
c.       Badan hukum yang bertujuan bersifat ideal dibidang sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, keagamaan.[8]

C.   Syarat-syarat pembentukan badan hukum
Menurut Prof. Meyers (1948) doktrin ilmu hukum menetapkan syara-syarat sebagai berikut :
a.       Ada harta kekayaan sendiri.
Badan hukum itu memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dengan harta kekayaan anggotanya, pendiri, atau pengurusnya. Harta kekayaan ini diperoleh dari pemasukan para anggotanya. Harta kekayaan ini diperlukan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam hubungan hukum.
b.      Ada tujuan tertentu.
Tujuan tertentu itu bukan tujuan pribadi anggotanya atau pendirinya. Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban melakukan sendiri usaha mencapai tujuannya. 
c.       Ada kepentingan sendiri.
Kepentingan adalah hak subjektif yang timbul dari peristiwa hukum, yang dilindungi oleh hukum. Badan hukum yang mempunyai kepentingan sendiri dapat menuntut dan mempertahankan kepentingannya itu terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukum.
d.      Ada organisasi yang teratur.
Badan hukum adalah satu kesatuan organisasi bentukan manusia berdasarkan hukum, yang hanya dapat melakukan perbuatan hukum melalui alat perlengkapannya. Alat perlengkapan tersebut merupakan pengurus badan hukum yang mempunyai fungsi dan tugas yang diatur dalam anggaran dasar.
Menurut Prof. Meyers, apabila keempat syarat diatas terpenuhi, maka badan huku tersebut dapat disahkan dan diakui sebagai badan hukum. Empat syarat diatas merupakan syarat materiil, sedangkan syarat formal adalah pembuatan akta Notaris atau pembuatan undang-undang yang melahirkan badan hukum itu.[9]
1.      Prosedur pembentukan badan Hukum
Pembentukan badan hukum dapat dilakukan dengan perjanjian dan dapat pula dilakukan dengan undang-undang. Pada badan hukum yang dilakukan dengan perjanjian, status badan hukum itu diakui oleh pemerintah melalui pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian. Anggaran dasar itu adalah kesepakatan yang dibuat oleh para pendirinya. Pada badan hukum yang dibentuk dengan undang-undang, status badan hukum itu ditetapkan oleh undang-undang.[10]
a.       Prosedur pembentukan Perseroan Terbatas
Diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUHD), 1. Para pendiri mengadakan kesepakatan, 2. Yang disusun dalam anggaran dasar, 3. Anggaran dasar dimuat dalam akta pendirian yang dibuat oleh notaris ( pasal 38 ayat 1 KUHD), 4. Akta pendirian disahkan oleh Menteri Kehakiman R.I ( pasal 27 ayat 1 KUHD), 5. Setelah disahkan kemudian didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri, 6. Kemudian diumumkan dalam berita negara.
b.      Prosedur Persekutuan Komanditer ( C.V)
Persekutuan Komanditer adalah persekutuan yang dapat berbadan hukum dan dapat pula tidak berbadan hukum. Menurut Stb. 1870-64 cara memperoleh status hukum dengan : Pengakuan oleh menteri kehakiman, pengakuan tersebut diberikan melalui, pengesahan akat pendirian, yang dibuat oleh notaris. Setelah disahkan kemudian didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri, Kemudian diumumkan dalam berita negara.
c.       Pembentukan Koperasi
Diatur dalam UUD No.1 tahun 1967 tentang pokok-pokok perkoperasian. Prosedurnya, 1. Para pendiri mengadakan kesepakatan, yang disusun dalam anggaran dasar,  2. Anggaran dasar dimuat dalam akta pendirian. 3. Akta pendirian ini disampaikan kepada pejabat koperasi untuk memperoleh pengesahan pejabat atas nama Menteri Koperasi. 3. Kemudian didaftarkan 4. Tanggal pendaftaran akta pendirian itu berlaku sebagai tanggal resmi berdiri koperasi sebagai badan hukum. 5. Pejabat mengumumkan koperasi itu di Berita Negara.
d.      Pembentukan Yayasan.
Mengenai yayasan ini tidak mendapat pengaturan dalam undang-undang. Tapi Yurisprudensi dan kebiasaan di Indonesia. Yayasan didirikan oleh pendirinya dengan menyusun anggaran dasar yang dimuat dalam akta pendirian dan dibuat dimuka Notaris. Status hukum diperoleh sejak didirikan akta notaris itu.
Disamping syarat formal berupa akta notaris, ada pula syarat materiil yaitu :
a.       Harus ada pemisah kekayaan harta yayasan dengan pribadi pengurus.
b.      Harus ada tujuan tertentu yang bersifat ideal.
c.       Harus ada kepentingan yayasan.
d.      Harus ada organisasi yang dipimpin oleh pengurus yayasan.[11]



D.  Tempat Tinggal
1.      Definisi
Tempat tinggal (domisili) adalah tempat dimana seseorang tinggal / bekedudukan serta mempunyai hak dan kewajiban hukum.[12]
Domisili adalah terjemahan dari domicile atau woonplaats yang artinya tempat tinggal. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan domisili atau tempat kediaman itu adalahtempat di mana seseorang dianggap hadir mengenai hal melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya juga meskipun kenyataannya dia tidak di situ.[13]Tempat tinggal dapat berupa wilayah/daerah atau dapat pula berupa rumah kediaman kantor yang berada dalam wilayah/daerah tertentu.
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya, kadang-kadang kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap selalu mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya melakukan kegiatannya atau di mana ia berkediaman pokok. Kadang-kadang menetapkan tempat kediaman seseorang itu sulit, karena selalu berpindah-pindah (banyak rumahnya). Untuk memudahkan hal tersebut dibedakan antara tempat kediaman hukum (secara yuridis) dan tempat kediaman yang sesungguhnya.[14]

2.      Hak dan Kewajiban
Hak dan kewajiban ini dapat timbul dalam bidang hukum public dan dapat pula dalam bidang hukum perdata. Hak dan kewajiban dalam bidang hukum publik[15], misalnya:
a.         Hak mengikuti pemilihan umum.
b.        Kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan.
c.         Kewajiban membayar pajak kendaraan bermotor.
Hak dan kewajiban dalam bidang hukum perdata, misalnya:
a.         Jika dalam perjanjian tidak ditentukan tempat pembayaran, debitur wajib membayar di tempat tinggal kreditur. Jadi, hak kreditur dipenuhi di tempat tinggalnya (pasal 1393 ayat 2 KUHPdt).
b.        Debitur wajib membayar wessel/cek kepada pemegangnya (kreditur) di tempat tinggal / alamat debitur (pasal 137 KUHD)
c.         Debitur berhak menerima kredit dari kreditur (bank) di kantor kreditur (bank).
3.      Status Hukum
Status hukum seseorang juga menentukan tempat tinggalnya, sehingga akan menentukan pula hak dan kewajiban menurut hukum. Dengan demikian, hak dan kewajiban hukum mengikuti tempat tinggal yang ditentukan itu.[16]
4.      Jenis tempat tinggal
Dilihat dari segi terjadinya peristiwa hukum, tempat tinggal itu digolongkan empat jenis, yaitu:
a.    Tempat tinggal yuridis
            Tempat tinggal yuridis terjadi karena peristiwa hukum kelahiran, perpindahan atau mutasi. Tempat tinggal yuridis dibuktikan oleh kartu tanda penduduk (KTP) atau bukti-bukti lain. Tempat tinggal yuridis adalah tempat tinggal utama.[17]
b.    Tempat tinggal nyata
            Tempat tinggalnya terjadi karena peristiwa hukum keberadaan yang sesungguhnya. Umumnya dibuktikan dengan kehadiran selalu di tempat itu. Tempat tinggalnyata sifatnya sementara.
c.    Tempat tinggal pilihan                    Tempat tinggal pilihan terjadi karena peristiwa hukum membuat perjanjian, dan tempat tinggal itu di pilih oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian  itu. Dibuktikan oleh akta otentik yang mereka buat di muka Notaris.
d.   Tempat tinggal ikutan
     Tempat tinggal ikutan atau bergantung terjadi karena peristiwa hukum keadaan status hukum seseorang yang di tentukan oleh undang-undang, misalnya:
a) Tempat tinggal isteri sama dengant empat tinggal suami (pasal 32 UU No. 1Tahun 1974)
b) Tempat tinggal anak mengikuti tempat tinggal orang tua( pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974)
c) tempat tinggal orang di bawah pengampuan mengikuti tempat tinggal pengampunya. (pasal 50 UU No.1 Tahun 1974)
        Pembuktiannya melalui akta perkawinan, kartu keluarga atau KTP Orang tua, putusan pengadilan tentang penunjukan wali pengampu.[18]

5.      Arti penting tempat tinggal
                 Arti penting (relevansi) tempat tinggal bagi seseorang atau badan hukum ialah dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban, penentuan status hukum seseorang dalam lalulintas hukum, dan berurusan dengan pengadilan.[19]
                 Untuk menentukan atau menunjukan suatu tempat di mana berbagai perbuatan hokum harusdilakukan, misalnya mengajukan gugatan, pengadilan mana yang berwenang mengadili.[20]
            Tempat tinggal juga menentukan apabila seseorang berurusan/berpekara di muka pengadilan. Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perkara perdata adalah yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat (pasal 118 HIR).[21]


E.  Kewenangan Berhak dan Berbuat
1.      Kewenangan Berhak
Manusia pribadi mempunyai kewenangan berhak sejak ia dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan ibunya, asal ia lahir hidup apabila kepentingannya menghendaki (pasal 2 KUHpdt). Kewenangan berhak berlangsung terus hingga akhir hayat.
Kewenangan berhak setiap manusia pribadi tidak dapat dihilangkan/ditiadakan oleh suatu hukuman apapun. Hak perdata merupakan hak asasi yang melekat pada diri pribadi setiap orang. Hak perdata adalah identitas manusia pribadi yang tidak dapat hilang atau lenyap. Identitas ini baru hilang atau lenyap apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Contoh hak perdata ialah hak hidup, hak memiliki, hak untuk kawin, hak untuk beranak (bagi wanita), hak waris, hak atas nama, hak atas tempat tinggal.[22]
Namun demikian ada faktor yang mempengaruhi kewenagan berhak seseorang yang sifatnya membatasi, yaitu antara lain:
a.        Kewarganegaraan
Contoh yang membatasi kewenangan berhak WNA di Indonesia adalah: tarif pajak lebih tinggi, tidak boleh berpolitik dan ber-ideologi, terbatas dalam kegiatan perseroan dan perkumpulan, tidak boleh duduk dalam pemerintahan.
b.      Tempat Tinggal
Contoh, seseorang yang berdomisili di Batam tidak boleh menjadi pemilih dalam Pemilu Walikota di Tanjung Pinang.
c.       Kedudukan / Jabatan
Contoh, seorang hakim dan pejabat hukum tidak boleh memiliki baarang-barang dalam perkara yang dilelang atas dasar keputusan pengadilan.

d.      Tingkah Laku / Perbuatan
Contoh, kekuasaan orang tua / wali dapat dicabut oleh pengadilan ika oranr tua / wali tersebut pemabuk atau suka aniaya, dsb.
e.        Jenis Kelamin dan Hal Tiada di tempat
Contoh, antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan hak dan kewajiban. Dikatakan hal tiada di tempat / keadaan tidak hadir apabila tidak ada kabar atau pemberitahuan untuk waktu yang cukup lama (5 tahun berturut-turut). Bisa disebabkan meninggal, tidak tahu asal-usul, dsb.[23]

2.      Kewenangan berbuat
Untuk mengetahui apakah seseorang itu wenang berbuat atau tidak, ada beberapa faktor yang membatasi yaitu, umur, kesehatan, perilaku. Wenang berbuat ada dua pengertian yaitu:
a)    Cakap atau mampu berbuat karena memenuhi syarat hukum (bekwaam, capable), kecakapan atau kemampuan berbuat karena memenuhi syarat hukum (bekwaambheid, capacity);
b)   Kuasa atau berhak berbuat karena diakui oleh hukum walaupun tidak memenuhi syarat hukum (bevoegd, competent), kekuasaan atau kewenangan berbuat (bevoegdheid, competence).
Pada dasarnya setiap orang dewasa adalah cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum karena memenuhi syarat umur menurut hukum. Tetapi apabila orang dewasa itu dalam keadaan sakit ingatan atau gila, tidak mampu mengurus dirinya sendiri karena boros, maka ia disamakan dengan orang belum dewasa dan oleh hukum dinyatkan sebagai tidak cakap atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum (onbekwaan, incapable, pasal 330 KUHpdt).
Kepentingan orang yang tidak cakap atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum diurus oleh pihak yang mewakilinya. Kepentingan anak yang belum dewasa diurus oleh orang tuanya (pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974). Kepentingan anak yang berada dibawah perwakilan diurus oleh walinya (pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974). Kepentingan orang dewasa yang berada dibawah pengampuan diurus oleh wali pengampunya (pasal 433 KUHpdt).
Tidak setiap orang yang belum dewasa dinyatakan tidak wenang melakukan perbuatan hukum. Ada perbuatan hukum tertentu dapat dilakukan oleh orang yang belum dewasa karena diakui oleh hukum. Anak wanita yang berumur 16 tahun dan anak pria yang berumur 19 tahun dapat melakukan perkawinan, walaupun mereka belum dewasa menurut hukum, karena hukum mengakui perbuatan mereka itu (pasal 7 ayat 1 UU No.  Tahun 1974).
Orang dewasa yang tidak berkepentingan tidak wenang melakukan perbuatan hukum, misalnya seseorang penyewa rumah tidak wenang menjual rumah yang disewanya itu kepada pihak lain karena rumah itu bukan miliknya. Tetapi apabila ia memperoleh kuasa atau diberi hak oleh pemiliknya untuk menjualkan rumah itu, maka ia berwenang melakukan perbuatan hukum menjual rumah tersebut karena diakui oleh hukum, walupun rumah itu bukan miliknya. Jadi, walaupun orang dewasa, belum tentu pula wenang melakukan perbuatan hukum dalam segala hal.[24]
F.   Kedewasaan dan Pendewasaan
1.      Menurut Konsep Hukum Perdata Barat
            Istilah “kedewasaan” menunjuk kepada keadaan sudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah “pendewasaan” menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan dewasa.
            Menurut ketentuan pasal 330 KUHPdt belum dewasa (minderjaring) adalah belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin sebelum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
            Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang-undang ini disebut kedewasaan. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu (bekwaam, capable) melakukan semua perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, melakukan perkawinan, membuat surat wasiat. Kecakapan hukum ini berlaku penuh selama tidak ada faktor-faktor yang mempengaruhi atau membatasinya, misalnya keadaan sakit ingatan, keadaan dungu, pemboros (pasal 433 jo. pasal 1330 KUHPdt).
            Dari kenyataan diatas tadi dapat diketahui bahwa B.W. atau KHUPdt memakai kriteria umur untuk menentukan dewasa atau belum dewasa. Tetapi inipun tidak mutlak, karena kenyataannya walupun belum berumur 21 tahun penuh apabila sudah pernah kawin dinyatakan juga sebagai dewasa. Atau walaupun belum berumur 21 tahun penuh apabila kepentingannya menghendaki, ia dapat dinyatakan dewasa untuk kawin, untuk membat surat wasiat (pasal 29 dan pasal 897 KUHPdt).
            Pendewasaan itu ada dua macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Kedua-duanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya ialah sudah berumur 20 tahun. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPdt).
            Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden R.I. dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainya. Presiden setelah mendengarkan pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Keputusan pernyataan dewasa ini disebut “ venia aetatis”.
            Untuk pendewasan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadialn Negeri setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat.[25]

2.      Menurut Konsep Hukum Adat
            Hukum adat tidak mengenal batas umur untuk menentukan belum dewasa atau sudah dewasa. Hukum adat menentukan secara insidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula.
            Prof. M.M. Djojodiguno, S.H. (1958) menyatakan bahwa batas antara belum dewasa dan dewasa hanya dapat dilihat dari “belum cakap dan cakap melakukan melakukan perbuatan hukum”.
            Apabila kedewasaan ini dihubungkan dengan perbuatan kawin, maka Prof. M.M. Djojodiguno, S.H. hukum adat mengakui kenyataan apabila seorang pria dan seorang wanita dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun.
            Dalam undang-undang (Stb. 1931-54) yang juga berlaku bagi orang Indonesia yang tunduk pada hukum adat, apabila dijumpai istilah “belum dewasa”, ini berarti belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu putus sebelum dicapai umur 21 tahun penuh, orang itu tetap dinyatakan dewasa.[26]

3.      Menurut Undang-Undang R.I Sekarang
            Berdasarkan Undang-undang R.I. yang berlaku hingga sekarang, pengertian belum dewasa dan dewasa dapat dinyatakan seragam untuk semua warga negara Indonesia. Dikatakan belum dewasa apabila belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin.
            Ketentuan belum dewasa dan dewasa terdapat dalam undang-undang berikut ini:
a)      Pasal 330 KUHPdt bagi warga negara Indonesia Keturunan Eropa;
b)      Stb. 1924-556 bagi warga negara Indonesia keturunan timur asing bukan Cina;
c)      Stb. 1924-557 bagi warga negara Indonesia keturunan timur asing Cina;
d)     Stb. 1931-54 bagi warga negara Indonesia asli (Bumiputra)
            Berlakunuya undang-undang tersebut diatas didasarkan pada aturan peralihan  UUD ’45, bahwa sebelum dibentuk undang-undang baru (dalam hal ini mengenai kedewasaan) berdasarkan UU ini, semua peraturan hukum perundang-undangan yang sudah ada tetap dinyatakan berlaku. Undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang R.I. belum ada yang merumuskan pengertian belum dewasa sebagai pencabutan keempat undang-undang yang disebutkan terdahulu.
            Apabila dalam undang-undang dijumpai istilah belum dewasa (minderjarig), itu berarti belum berumur 21 tahun penuh dan belum pernah kawin. Sebaliknya apabila dalam undang-undang dijumpai istilah dewasa (meerderjarig), itu berarti sudah berumur 21 tahun penuh, atau walaupun belum berumur 21 tahun penuh, ia sudah kawin.
            Pengertian sudah berumur 21 tahun penuh atau sudah pernah kawin disebut dewasa undang-undang (dewasa hukum). Disamping itu masih dikenal dewasa biologis atau dewasa seksual untuk melangsungakan perkawinan, yaitu sudah mencapai umur 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Mereka yang dewasa biologis ini apabila sudah melangsungkan perkawinan berubah menjadi dewas hukum.[27]
G. Pencatatan peristiwa Hukum
1.         Peristiwa Hukum Yang di catat
Untuk memastikan peristiwa status perdata seseorang, ada lima peristiwa hukum dalam kehidupan manusia yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu peristiwa:[28]
a.    Kelahiran, untuk menentukan status hukum seseorang sebagai subjek hukum hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban.
b.    Perkawinan, untuk menentukan status hukum seseorang sebagai suami atau istri  dalam ikatan perkawinan.
c.    Perceraian, untuk menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda, yang bebas dari ikatan perkawinan.
d.   Kematian, untuk menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris, sebagai janda atau duda dari almarhum/almarhumah.
e.    Penggantian nama, untuk menentukan status hukum seseorang engan identitas tertentu dalam hukum perdata.

2.         Tujuan pencatatan
Tujuan pencatatan ialah untuk memperoleh kepastian hukum tentang status hukum perdata seseorang yang mengalami status hukum tersebut. Kepastian hukum sangat penting dalam perbuatan hukum. Kepastian hukum itu menentukan apakah ada hak dan kewajiban hukum yang sah antara pihak-pihak yang berhubungan dengan hukum tersebut.
Kepastian hukum mengenai kelahiran menentukan staus perdata mengenai dewasa atau belum dewasa seseorang. Kepastian hukum mengenai perkawinan menentukan status perdata mengenai boleh atau tidak melangsungkan perkawinan dengan pihak yang lain lagi. Kepastian hukum mengenai perceraian menentukan status perdata untuk bebas untuk mencari pasangan lain. Kepastian hukum mengenai kematian, menentukan status perdat sebagai ahli waris dan keterbukaan waris.

3.         Fungsi pencatatan
            Fungsi pencatatan itu ialah pembuktian bahwa peristiwa hukum yang dialami oleh seseorang itu telah benar-benar terjadi. Untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi peristiwa hukum, diperlukan surat keterangan yang menyatakan telah terjadi peristiwa hukum. surat keterangan tersebut yang menyatakan telah terjadi peristiwa hukum pada hari, tanggal, tahun, di tempat tertentu. Yang memberikan surat keterangan itu atas nama seseorang pejabat/petugas yang menangani atau berwenag untuk kasus tersebut.
            Surat keteranagan kelahiran diberikan oleh dokter atau bidan rumah sakit/klinik’ yang menangani peristiwa kelahiran itu. Surat keterangan diberi oleh dokter rumah sakit yang merawatnya atau oleh kepala kelurahan/desa tempat tingal yang bersangkutan. Surat keterangan kawin dibuat oleh petugas yang menyaksikan peristiwa perkawinan itu. Surat keterangan perceraian berupa putusan pengadilan diberikan oleh Pengadilan Negri bagi yang bukan beragama islam dan oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Surat keteranggan ganti nama diberikan oleh Pengadilan Negri dalam bentuk Surat ketetapan.

4.    Lembaga catatan sipil
          Untuk melakukan pencatatan,maka di bentuk lembaga kusus yang disebut catatan sipil (Burgerlijke Stand). Catatan sipil artinya catatan mengenai peristiwa perdata yang di alami oleh seseorang. Catatan sipil meliputi kegiatan pencatatan peristiwa hukum yang berlaku umum untuk semua warga negara Indonesia dan yang berlaku khusus untuk warga Negara Indonesia yang beragama islam mengenai perkawinan dan perceraian. Lembaga catatan sipil yang berlaku umum secara struktural berada dibawah Departemen dalam Negeri. Sedangkan Lembaga Catatan Sipil yang berlaku khusus untuk yang beragama Islam secara struktural berada dibawah Departemen Agama.
            Untuk menyelengarakan tugas pencatatan, Lembaga catatan sipil umum mempunyai kantor ditiap kabupaten/kota madya. Sedangkan Lembaga Catatan Sipil khusus merupakan bagian tugas dari kantor Departemen Agama di daerah. Kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi sebagai berikut;[29]
a.       Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kelahiran
b.      Mencatat dan menerbitkan kutipan akta kelahiran
c.       Mencatat dan menerbitkan kutipan akta perceraian
d.      Mencatat dan menerbitkan kutipan akte kematian
e.       Mencatat dan menerbitkan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak, dan akta ganti nama

5.        Sarat dan prosedur pencatatan
     Untuk dapat dilakukan pencatatan peristiwa hukum perlu dipenuhi syarat, yaitu adanya surat keterangan yang menyatakan telah terjadi peristiwa hukum yang bersangkutan. Surat keterangan ini dibuat oleh pihak yang berhak mengurus, menangani atau mengeluarkannya. Surat keterangan tersebut kemudian dibawa oleh yang berkepetingan kepada pejabat kantor catatan sipil untuk dicatat atau didaftarkan dalam buku akta yang disediakan untuk setiap peristiwa hukum.
            Apabila peristiwa hukum itu telah melampaui waktu untuk didaftarkan, maka untuk dapat dilakukan pencatatan atau pendaftaran perlu ada surat penetapan dari hakim misalnya, penetapan hakim pengadilan negri mengenai kelahiran, penetapan hakim pengadilan agama mengenai perkawinan orang yang beragama islam.
            Sebagai bukti telah dicatat atau didaftarkan, pejabat kantor catatan sipil menerbitkan kutipan akta, seperti kutipan akta kelahiran, kutipan akta kelahiran, kutipan akta perkawinan, kutipan akta kematian, kutipan akta perceraian. Kutipan akta ini bersifat otentik karena dikeluarkan oleh pejabat resmi (akta ambtelijk).
6.        Pengaturan catatan sipil indonesia
     Sebagai akibat dari pelaksanaan politik hukum kolonial di Indonesia dahulu, maka terdapat berbagai peraturan perundang-undagan yang mengatur tentang catatan sipil di indonesia. undang-undang tersebut adalah berikut:[30]
a.         Reglemen catatan sipil Stb.1849-25 tentang pencatatan perkawinan dan penceraian bagi warga negara Indonesia keturunan eropa.
b.        Reglemen catatan sipil Stb.1917-130 jo.Stb.1919-81 tentang pencatatan perkawinan dan perceraian bagi warga negara Indonesia keturunan cina.
c.         Reglemen catatan sipil Stb.1933-75 jo.Stb.1936-607 tentang pencatatan pekawinan dan perceraian bagi warga negara Indonesia yang beragama keristen di jawa, madura, minahasa, ambon, dan sebagainya.
d.        Reglemen catatan sipil Stb.1904-279 tentang pencatatan perkawinan dan perceraian bagi warga negara Indonesia perkawinan campuran.
e.         Reglemen catatan sipil Stb.1920-751 jo.Stb.1927 -564 tentang pencatatan kelahiran dan kematian bagi warga negara Indonesia asli di jawa dan madura.
f.         B.W. Stb.1847-23 yang mengatur pencatatan sipil lainnya.
g.        Undang-undang no 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk bagi warga negara Indonesia beragama islam.
     Dari tujuh undang-undang mengenai catatan sipil tersebut diatas tadi, maka dapat dihimpun tiga macam catatan sipil,yaitu;
1.        Catatan sipil untuk warga negara indonesia tentang:
a.     kelahiran,        b. kematian,    c. pengantian nama.
2.        Catatan sipil untuk warga negara indonesia non islam tentang:
a.       perkawinan,    b. perceraian.
3.        Catatan sipil untuk warga negara Indonesia beragama islam tentang :
a.       perkawinan,    b. perceraian.
Untuk penyelenggaraan catatan sipil di Indonesia, pada tahun 1966 di keluarkan instruksi presiden cabinet No. 31/U/IN/12/66 di tunjukan kepada menteri kehakiman dan kantor catatan sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggolongkan penduduk Indonesia berdasarkan pasal 131 I.S. Selanjutnya kantor catatan sipil di Indonesia terbuka untuk seluruh penduduk Indonesia dan warga Negara asing.
     Untuk mempertegas instruksi tersebut, Menteri kehakiman dan Menteri dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran Bersama No. 51/I/3/J.A: 2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 yang pada pokok isinya menghilangkan pembatasan berlaku, dalam arti diberlakukan untuk semua penduduk Indonesia (WNI dan WNA) di seluruh Indonesia yang tergolong dalam masing-masing stb, berikut ini:[31]
a.       Stb. 1920-751 jo. Stb.1972-564 mengenai kelahiran dan kematian;
b.         Stb. 1933-751 jo. Stb.1936-607 mengenai pendaftaran perkawinan dan perceraian.
               Dengan berlakunya staatblad-staatblad tersebut diatas untuk seluruh Indonesia, maka tercapainya keseragaman hukum catatan sipil mengenai hal-hal berikut ini:
a.     Stb. 1920-751 jo. Stb.1972-564 mengenai kelahiran dan kematian bagi seluruh warga Indonesia dan warga Negara asing di Indonesia;
b.         Stb. 1933-751 jo. Stb.1936-607 mengenai pendaftaran perkawinan dan perceraian bagi seluruh warga Indonesia dan warga Negara asing yang bukan beragama islam di Indonesia.
c.         Undang-undang No.32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan  rujuk bagi warga Negara Indonesia beragama islam.
            Dalam pasal 4 ayat 1 S.K. Menteri Dalam Negeri No.54 Tahun 1983 ditetapkan tiga tipe organisasi kantor catatan sipil, yaitu;
a.       Organisasi kantor catatan sipil tipe A
b.      Organisasi kantor catatan sipil tipe B
c.       Organisasi kantor catatan sipil tipe C
            Kantor catatan sipil tipe A dan B mempuntai kantor tersendiri dan kepala kantor sendiri. Sedangkan tipe C mempunyai kantor yang masih bergabung dengan Bagian Pemerintahan Kabupaten/Kotamadya, kepalanya dirangkap oleh kepala bagian pemerintahan.

H.      Keadaan tidak hadir
1.      Definisi
Keadaan tak hadir (afwezigheid) adalah keadaan tidak adanya sseseorang di tempat kediamannya karena bepergian atau meninggalkan tempat kediaman baik dengan izin atau tanpa izin. Dam tidak diketahui dimana tempat ia berada. [32]
Keadaan tidak hadir diatur dalam bab ke 18 burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Perdata). Dari pasal 463 BW dapat diketahui bahwa keadaan tidak hadir terdiri dari beberapa unsur,[33] yaitu:
a.       Meninggalkantempatkediamannya
b.      Tanpamemberikuasa orang lain untukmewakiliya
c.       Tidakmenunjuk orang lainuntukmenguruskepentingannya.
d.      Kuasa yang diberikantelahgugur
e.       Jika  timbul keadaan yang memaksa untuk menanggulangi pengurusan hartabenda yang keseluruhan atau sebagian.
f.       Untuk mengangkat seorang wakil, harus diadakan tindakan-tindakan hukum untuk mengisikekosongansebagaiakibatketidakhadirantersebut.
g.      Mewakili dan mengurus kepentingan orang yang tidak hadir, tidakhanyameliputikepentinganhartakekayaansaja, melainkanjugauntukkepentingan – kepentinganpribadinya.
Menurut Tan Thong Kie, keadaan tidak hadir dapat dibagi kedalam tiga masa, yaitu:
Masa yang pertama terjadi apabila seseorang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa mewakilkan kepentinganya kepada seseorang. Pada keadaan ini tindakan sementara hanya diambil jika ada alasan yang mendesak untuk mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya.
Tindakan sementara tersebut dimintakan kepada pengadilan Negeri oleh orang yang mempunyai kepentingan harta kekayaan atau jaksa.
Selanjutnya hakim akan memerintahkan kepada Balai Harta peninggalan untuk mengurus seluruh atau sbagian harta serta kepentingan orang yang tidak hadir. Kemudian Balai Harta peninggalan memliki kewajiban untuk
a)      Membuat catatan harta yang pengurusannya diserahkan kepadanya, jika perlu sebelumnya  disegel dulu
b)      Membuat daftar pencatatan harta, surat-surat lain, dan uang kontan serta kertas berharga ke kantor balai Harta peninggalan.
c)      Memperhatikan segala ketentuan untuk seorang wali mengenai pengurusan harta seorang anak, kecuali diperintahkan  lain olehseorang hakim
d)     Memberi pertanggungjawaban setiap tahun kepada jaksa dengan memperlihatkan surat-surat “pengurusan dan efek” .[34]

























BAB III
KESIMPULAN
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban itu disebut orang. Pengertian orang dalam arti hukum adalah terdiri dari manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subjek hukum dalam arti biologis, sebagai gejala alam, sebagai makluk budaya yang berakal, berperasaan, berkehendak. Badan hukum adalah dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia pribadi.
Tempat tinggal (domisili) adalah tempat dimana seseorang tinggal/bekedudukan serta mempunyai hak dan kewajiban hukum. Manusia pribadi mempunyai kewenangan berhak sejak ia dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan ibunya, asal ia lahir hidup apabila kepentingannya menghendaki (pasal 2 KUHpdt). Kewenangan berhak berlangsung terus hingga akhir hayat. Kewenangan berbuat adalah suatu pembahsan untuk mengetahui apakah seseorang itu wenang berbuat atau tidak, ada beberapa faktor yang membatasi yaitu, umur, kesehatan, perilaku.
Istilah “kedewasaan” menunjuk kepada keadaan sudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah “pendewasaan” menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan dewasa. Untuk memastika peristiwa status perdata seseorang, ada lima peristiwa hukum dalam kehidupan manusia yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, dan penggantian nama.
Keadaan tak hadir (afwezigheid) adalah keadaan tidak adanya sseseorang di tempat kediamannya karena bepergian atau meninggalkan tempat kediaman baik dengan izin atau tanpa izin. Dam tidak diketahui dimana tempat ia berada


DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), 2000, cet III
Priwirohamidjojo, R Soetojo dan Marthalenapohan, Hukum Orang dan Keluarg,  (Surabaya: Airlangga University Press, 1991)
Kie, Tan Thong, Studinotariat dan serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Inchtiar Baru Van Hoeve, 2007)
http://gumilar69.blogspot.com/2013/06/domisili-dalam-hukum-perdata.html






[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), 2000, cet III, hal.27
[3] Ibid, hal. 28
[4] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), 2000, cet III, hal 28
[6] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), 2000, cet III, hal 30
[7] Ibid.
[8] Ibid, hal 31
[9] Ibid, hal 32
[10] Ibid, hal 33
[11] Ibid, hal 34
[12]Abdulkadir Muhammad HukumPerdata Indonesia (Bandung:PT Citra Aditya Bakti,2000), hlm.35
[13]http://kuliahade.wordpress.com/2010/03/27/hukum-perdata-domisilitempat-tinggal/
[15]Ibid.hlm.35
[16]ibid, hlm.36
[17]Abdulkadir Muhammad HukumPerdata Indonesia (Bandung:PTCitra Aditya Bakti,2000), hlm.37
[18]Ibid,hlm 37
[19]Ibid, hlm. 38
[21]http://gumilar69.blogspot.com/2013/06/domisili-dalam-hukum-perdata.html
DomisiliDalamHukumPerdata, diaksespada 23/10/2014 pkl20:13 wib

[22] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT. CITRA ADITYA BAKTI, 2000), cet. Ke-III, hal. 39.
[23] http://tisna2008.wordpress.com/2009/06/03/hukum-perdata/ diakses pada 23 oktober 2014 pukul 07.54 Wib.
[24] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia… hal. 39-41.
[25] Ibid. hal. 41-43.
[26] Ibid. hal. 44-45.
[27] Ibid. hal. 45-47.
[28] Ibid. hal.47
[29][29] Ibid. hal.50
[30] Ibid. hal. 51
[31] Ibid. hal. 52
[32]Abdulkadir Muhammad HukumPerdata Indonesia (Bandung:PT Citra Aditya Bakti,2000), hlm 53
[33]R.soetojoPriwirohamidjojodanMarthalenapohan, Hukum Orang danKeluarga(PersonenFemilierecht), (Surabaya: Airlangga University Press, 1991), hlm 242
[34] Tan Thong Kie, StudinotariatdanserbaSerbiPraktekNotaris, (Jakarta:InchtiarBaru Van Hoeve, 2007) hlm 44-45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar