Senin, 11 Mei 2015

Kaidah Tentang al-Tawabi’ (Pengikut)




1.     Kaidah  I
A.    Teks dan Arti Kaidah
ا لتَّا بِعُ تَا بِع
Pengikut itu harus mengikuti (hukum yang diikuti)

B.     Maksud dan Penjelasan Kaidah.
Kata al-tabi’ (pengikut) adalah suatu yang wujudnya (keberadaanya) tidak bisa berdiri sendiri, akan tetapi keberadaanya mengikuti adanya sesuatu yang lainyang diikutinya, yaitu al-matbu’. Keberadaaan pengikut itu karena salah satu dari empat kemungkinan berikut, yaitu: 1) karena ia menjadi juz (bagian) yang tidak mungkin (berbahaya) jika dibagi, seperti kulit yang menempel pada hewan, 2) karena bagian yang umumnya bersama, seperti mata cincin bersama cincinnya, 3) karena sudah menjadi keharusan kebutuhannya, seperti sebuah kunci yang menjadi keharusan ada bersama gemboknya dan, 4) karena menjadi sifat bagi pengikut itu seperti sebuah pohon atau bangunan yang menempel diatas tanah.
Dalam konsepsi fiqh, cara untuk mengetahui apakah sesuatu itu termasuk kategori tabi’ atau matbu’ adalah dengan melihat pandangan atau persepsi umum. Dengan demikian, pandangan umum pada kawasan tertentu sah-sah saja berbeda dengan kawasan lain.
Konsep ini berdasakan kaidah fiqih bahwa “segala sesuatu yang tidak memiliki batasan secara syar’i, maka akan dikembalikan pada kebiasaan atau pandangan umum.” Dengan begitu, status kategori tabi’ atau matbu’ notabenenya tidak mempunyai batasan secara syar’i juga diserahkan kepada pandangan umum. Namun perlu dingat kembali, sebagaimana telah dijelaskan dalam kaidah kubra kelima tentang kaidah adat bahwa pandangan umum itu akan mendapat justifikasi hukum hanya sepanjang tidak bersebrangan dengan syari’at Islam yang qath’i.
C.     Aplikasi Kaidah
Diantara aplikasi kaidah ini adalah jika seseorang menjual tanahnya, maka termasuk juga bangunan dan tumbuhan yang ditanam disitu. Begitu juga, jika pengikut itu dalam hal akad mu’amalah, seperti seseorang yang akad menjahitkan baju kepada seorang penjahit. Menurut adat kebiasaan, benang, jarum dan sebagainya menjadi tanggung jawab penjahit, karena ia ikut termasuk dalam akad menjahit tersebut.
Adapun contoh aplikasi kaidah ini dalam bidang perbankan syari’ah sebagaimana yang difatwakan oleh DSN adalah tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Syari’ah dan Waran Syari’ah.
2.     Kaidah II
A.    Teks dan Arti Kaidah
ا لتَّا بِعُ لاَ يُفرَدُ بِا لحُكمِ
Pengikut tidak independen (disendirikan) dalam hukum

B.     Maksud dan Penjelasan Kaidah
Kaidah ini semakna dengan sebelumnya, bahkan bisa dikategorikan menjadi cabang bagi kaidah sebelumnya. Namun kaidah ini secara khusus memberi penjelas pada aspek ketetapan hukumnya. Bahwa yang mengikuti, hukumnya tidak menyendiri, tetapi mengikuti hukum yang diikuti. Dengan kata lain, setiap sesuatu yang bersetatus sebagai pengikut (tabi’), secara hukum harus mengikuti sesuatu yang diikutinya (matbu’). Ia tidak dapat berdiri sendiri atau mempunyai hukum sendiri. Karena keberadaannya disebabkan (bergantung) kepada yang lain, maka ia (pengikut) seperti tidak ada, sehingga tidak perlu disendirikan hukum.
C.     Aplikasi Kaidah
Contoh apliksi kaidah ini tidaklah jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya. Antara lain dalm kasus ihya al mawat (mengelola tanah yang tak bertuan)  kasus ini adalah merupakan kasus tentang masalah pertanahan (agraria), sebagaimana telah diketahui bahwa dijaman penjajahan Belanda konsep pertanahan membolehkan untuk menggarap serta memiliki tanah yang tidak bertuan (ard al-mawat). Dalam Islam, konsep ihya al-mawat dijelaskan bahwa jika tanah tak bertuan itu dikelola, maka syari’at secara resmi memberikan hak milik tanah kepada pengelola (Muhyi). Karena dalam konsep ini sendiri dalam prakteknya tidak mempunyai ketentuan yang pasti.  Karena kata ihya yang secara bahasa memperdayakan sesuatu (tanah) sesuai dengan kehendak muhyi (pengelola), namun syari’at tidak memberikan ketentuan-ketentuan khusus tentang kosep ihya al-mawat. Sehingga dalam praktiknya, disesuaikan dengan adat kebisaan yang berlaku.
3.     Kaidah III
A.    Teks dan Arti Kaidah
مَنْ مَلَكَ شَيا مَلَكَ مَا هُوَ مِنْ ضَرُورَاتِهِ
Barang siapa memiliki sesuatu, maka berarti ia memiliki sesuatu lain yang sudah jadi keharusannya.

B.     Maksud dan Penjelasan Kaidah
Kaidah ini hakikatnya menjadi rincian bagi dua kaidah sebelumnya, karena kaidah ini juga menegaskan konsekuensi hukum pengikut. Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang memiliki sesuatu atau berhak terhadap sesuatu, maka dia berhak pula memiliki sesuatu yang lain yang konsekuensi (keperluan/kebutuhan) dari sesuatu atau hak yang dimilikinya itu. Walaupun sesuatu yang lain itu tidak tidak disebutkan dalam suatu akad (transaksi) mu’amalah. Sedangkan kata “darurah” dalam kaidah ini berarti sesuatu yang secara rasionalisme dibutuhkan seseorang sebagai pendukung kebermanfaatan atas suatu barang. Bukan darurah yang berarti bahaya atau darurat yang sering digunakan masyarakat Indonesia pada umumnya.
C.     Aplikasi Kaidah
Aplikasi kaidah dapat digolongkan kepada dua hal, yaitu: 1) yang berhubungan dengan kewajiban dan, 2) yang berhubungan dengan hak. Contoh jenis kewajiban adalah antara lain: apabila seseorang memiliki yangang memiliki jalur jalan yang khusus kerumah tersebut, maka dia bertanggung jawab atas pemeliharaan jalan tersebut. Sedangkan contoh jenis hak adalah antara lain: apabila seseorang membeli handphone atau laptope, maka ia berhak mendapatkan barang-barang yang membuat benda tersebut berfungsi, misal charger, dan lain-lainyang biasanya termasuk pengikut. Kecuali memang ditentukan yang lain oleh kedua belah pihak dalam kesepakatan.
4.     Kaidah IV
A.    Teks dan Arti Kaidah
يُغْتَفَرُ فِى التَّوَا بِعِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِ هَا
Ada dispensasi (dimaafkan) untuk pengikut, tapi tidak berlaku untuk lainnya (yang diikuti)

B.     Maksud dan Penjelasan Kaidah
Kata al-tawabi’ adalah bentuk plural dari kata al-tabi’ yang berarti pengikut. Adapun arti kata yughtafar adalah bermakna terkadang dimaklumi atau dimaafkan. Oleh karena itu, maksud kaidah ini adalah tekadang dimaklumi atau dimaafkan untuk keadaan al-tabi’ (pengikut); baik itu yang menjadi cakupan haknya al-matbu’(yang diikuti) atau termasuk konsekuensinya, baik dalam hal akad atau fasakh(pembatalan akad) atau terkait hak-haknya sebuah akad. Akan tetapi tidak bisa dimaafkan untuk lainnya (yang diikuti). Karena syari’at Islam mensyaratkan segala sesuatu yang dituntut adanya dalam obyek akad muamalah itu harus ada dalam obyek akad yang pokok (asli), namun ada kemudahan bagi yang bukan pokok (pengikut).
C.     Aplikasi Kaidah
Contoh aplikasi kaidah ini dalam bidang fiqh mu’amalah adalah boleh/sah mewakafkan kebun sudah rusak tanamanya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan. Artinya hukum mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak maka wakaf itu sah, karena yang rusak itu adalah tanaman (pengikut) yang mengikuti kebun, bukan kebunnya sendiri.  
5.     Kaidah V
A.    Teks dan Arti Kaidah
ذِ كْرُ بَعْضِ مَا لاَ يَتَجَزَّءُ كَذِ كْرِ كُلِّهِ
Penyebutan sebagian atas sesuatu yang tidak dapat dipisahkan (dibagi) adalah seperti penyebutan keseluruhan.

B.     Maksud dan Penjelasan Kaidah
Maksud dari kaidah ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipecah (dibagi), maka jika ia disebut walau hanya sebagian, maka secara tidak langsung seperti menyebut seluruhnya, karena merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan ia tidak dapat dipecah atau dibedakan. Bahkan jika penyebutan sebagian itu dipahami apa adanya (sebagian), maka akan mengakibatkan tidak bisa dipahami sama sekali maksud penyebutan tersebut.
C.     Aplikasi Kaidah
Contoh aplikasi kaidah ini dalam mu’amalah (ekonomi) adalah jika seseorang akan membeli sepatu di took sepatu. Dalam akadnya meski tidak disebutkan bahwa pembelian sepatu tersebut adalah dua buah sepatu (kanan dan kiri), otomatis pihak karyawan toko tidak akan memberikan hanya satu sepatu (sepatu bagian kiri saja atau kanan saja), namun akan diberikan sepasang sepatu yaitu kanan dan kiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar