1. Kaidah I
A. Teks dan Arti Kaidah
|
ا لتَّا بِعُ تَا بِع
|
Pengikut itu harus mengikuti (hukum yang
diikuti)
|
B. Maksud dan Penjelasan Kaidah.
Kata
al-tabi’ (pengikut) adalah suatu yang wujudnya (keberadaanya) tidak bisa
berdiri sendiri, akan tetapi keberadaanya mengikuti adanya sesuatu yang lainyang
diikutinya, yaitu al-matbu’. Keberadaaan pengikut itu karena salah satu dari
empat kemungkinan berikut, yaitu: 1) karena ia menjadi juz (bagian) yang tidak
mungkin (berbahaya) jika dibagi, seperti kulit yang menempel pada hewan, 2)
karena bagian yang umumnya bersama, seperti mata cincin bersama cincinnya, 3)
karena sudah menjadi keharusan kebutuhannya, seperti sebuah kunci yang menjadi
keharusan ada bersama gemboknya dan, 4) karena menjadi sifat bagi pengikut itu
seperti sebuah pohon atau bangunan yang menempel diatas tanah.
Dalam konsepsi
fiqh, cara untuk mengetahui apakah sesuatu itu termasuk kategori tabi’ atau
matbu’ adalah dengan melihat pandangan atau persepsi umum. Dengan demikian,
pandangan umum pada kawasan tertentu sah-sah saja berbeda dengan kawasan lain.
Konsep ini
berdasakan kaidah fiqih bahwa “segala sesuatu yang tidak memiliki batasan
secara syar’i, maka akan dikembalikan pada kebiasaan atau pandangan umum.” Dengan
begitu, status kategori tabi’ atau matbu’ notabenenya tidak mempunyai batasan
secara syar’i juga diserahkan kepada pandangan umum. Namun perlu dingat
kembali, sebagaimana telah dijelaskan dalam kaidah kubra kelima tentang kaidah
adat bahwa pandangan umum itu akan mendapat justifikasi hukum hanya sepanjang
tidak bersebrangan dengan syari’at Islam yang qath’i.
C. Aplikasi Kaidah
Diantara
aplikasi kaidah ini adalah jika seseorang menjual tanahnya, maka termasuk juga
bangunan dan tumbuhan yang ditanam disitu. Begitu juga, jika pengikut itu dalam
hal akad mu’amalah, seperti seseorang yang akad menjahitkan baju kepada seorang
penjahit. Menurut adat kebiasaan, benang, jarum dan sebagainya menjadi tanggung
jawab penjahit, karena ia ikut termasuk dalam akad menjahit tersebut.
Adapun
contoh aplikasi kaidah ini dalam bidang perbankan syari’ah sebagaimana yang
difatwakan oleh DSN adalah tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD)
Syari’ah dan Waran Syari’ah.
2. Kaidah II
A. Teks dan Arti Kaidah
|
ا لتَّا بِعُ لاَ يُفرَدُ بِا لحُكمِ
|
Pengikut
tidak independen (disendirikan) dalam hukum
|
B. Maksud dan Penjelasan Kaidah
Kaidah ini
semakna dengan sebelumnya, bahkan bisa dikategorikan menjadi cabang bagi kaidah
sebelumnya. Namun kaidah ini secara khusus memberi penjelas pada aspek
ketetapan hukumnya. Bahwa yang mengikuti, hukumnya tidak menyendiri, tetapi
mengikuti hukum yang diikuti. Dengan kata lain, setiap sesuatu yang bersetatus
sebagai pengikut (tabi’), secara hukum harus mengikuti sesuatu yang diikutinya
(matbu’). Ia tidak dapat berdiri sendiri atau mempunyai hukum sendiri. Karena
keberadaannya disebabkan (bergantung) kepada yang lain, maka ia (pengikut)
seperti tidak ada, sehingga tidak perlu disendirikan hukum.
C. Aplikasi Kaidah
Contoh
apliksi kaidah ini tidaklah jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya. Antara lain
dalm kasus ihya al mawat (mengelola tanah yang tak bertuan) kasus ini adalah merupakan kasus tentang
masalah pertanahan (agraria), sebagaimana telah diketahui bahwa dijaman
penjajahan Belanda konsep pertanahan membolehkan untuk menggarap serta memiliki
tanah yang tidak bertuan (ard al-mawat). Dalam Islam, konsep ihya al-mawat
dijelaskan bahwa jika tanah tak bertuan itu dikelola, maka syari’at secara
resmi memberikan hak milik tanah kepada pengelola (Muhyi). Karena dalam konsep
ini sendiri dalam prakteknya tidak mempunyai ketentuan yang pasti. Karena kata ihya yang secara bahasa
memperdayakan sesuatu (tanah) sesuai dengan kehendak muhyi (pengelola), namun
syari’at tidak memberikan ketentuan-ketentuan khusus tentang kosep ihya
al-mawat. Sehingga dalam praktiknya, disesuaikan dengan adat kebisaan yang
berlaku.
3. Kaidah III
A. Teks dan Arti Kaidah
|
مَنْ مَلَكَ شَيا مَلَكَ مَا هُوَ مِنْ
ضَرُورَاتِهِ
|
Barang siapa memiliki sesuatu, maka berarti ia
memiliki sesuatu lain yang sudah jadi keharusannya.
|
B. Maksud dan Penjelasan Kaidah
Kaidah ini hakikatnya
menjadi rincian bagi dua kaidah sebelumnya, karena kaidah ini juga menegaskan
konsekuensi hukum pengikut. Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang
memiliki sesuatu atau berhak terhadap sesuatu, maka dia berhak pula memiliki
sesuatu yang lain yang konsekuensi (keperluan/kebutuhan) dari sesuatu atau hak
yang dimilikinya itu. Walaupun sesuatu yang lain itu tidak tidak disebutkan
dalam suatu akad (transaksi) mu’amalah. Sedangkan kata “darurah” dalam kaidah
ini berarti sesuatu yang secara rasionalisme dibutuhkan seseorang sebagai
pendukung kebermanfaatan atas suatu barang. Bukan darurah yang berarti bahaya
atau darurat yang sering digunakan masyarakat Indonesia pada umumnya.
C. Aplikasi Kaidah
Aplikasi
kaidah dapat digolongkan kepada dua hal, yaitu: 1) yang berhubungan dengan
kewajiban dan, 2) yang berhubungan dengan hak. Contoh jenis kewajiban adalah
antara lain: apabila seseorang memiliki yangang memiliki jalur jalan yang khusus
kerumah tersebut, maka dia bertanggung jawab atas pemeliharaan jalan tersebut.
Sedangkan contoh jenis hak adalah antara lain: apabila seseorang membeli
handphone atau laptope, maka ia berhak mendapatkan barang-barang yang membuat
benda tersebut berfungsi, misal charger, dan lain-lainyang biasanya termasuk
pengikut. Kecuali memang ditentukan yang lain oleh kedua belah pihak dalam
kesepakatan.
4. Kaidah IV
A. Teks dan Arti Kaidah
|
يُغْتَفَرُ فِى التَّوَا بِعِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِي
غَيْرِ هَا
|
Ada dispensasi (dimaafkan) untuk pengikut, tapi
tidak berlaku untuk lainnya (yang diikuti)
|
B. Maksud dan Penjelasan Kaidah
Kata
al-tawabi’ adalah bentuk plural dari kata al-tabi’ yang berarti pengikut.
Adapun arti kata yughtafar adalah bermakna terkadang dimaklumi atau dimaafkan.
Oleh karena itu, maksud kaidah ini adalah tekadang dimaklumi atau dimaafkan
untuk keadaan al-tabi’ (pengikut); baik itu yang menjadi cakupan haknya
al-matbu’(yang diikuti) atau termasuk konsekuensinya, baik dalam hal akad atau
fasakh(pembatalan akad) atau terkait hak-haknya sebuah akad. Akan tetapi tidak
bisa dimaafkan untuk lainnya (yang diikuti). Karena syari’at Islam mensyaratkan
segala sesuatu yang dituntut adanya dalam obyek akad muamalah itu harus ada
dalam obyek akad yang pokok (asli), namun ada kemudahan bagi yang bukan pokok
(pengikut).
C. Aplikasi Kaidah
Contoh aplikasi
kaidah ini dalam bidang fiqh mu’amalah adalah boleh/sah mewakafkan kebun sudah
rusak tanamanya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan. Artinya hukum
mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak maka wakaf itu sah,
karena yang rusak itu adalah tanaman (pengikut) yang mengikuti kebun, bukan
kebunnya sendiri.
5. Kaidah V
A. Teks dan Arti Kaidah
|
ذِ كْرُ بَعْضِ مَا لاَ يَتَجَزَّءُ كَذِ
كْرِ كُلِّهِ
|
Penyebutan
sebagian atas sesuatu yang tidak dapat dipisahkan (dibagi) adalah seperti
penyebutan keseluruhan.
|
B. Maksud dan Penjelasan Kaidah
Maksud dari
kaidah ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipecah (dibagi), maka jika ia
disebut walau hanya sebagian, maka secara tidak langsung seperti menyebut
seluruhnya, karena merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan ia
tidak dapat dipecah atau dibedakan. Bahkan jika penyebutan sebagian itu
dipahami apa adanya (sebagian), maka akan mengakibatkan tidak bisa dipahami
sama sekali maksud penyebutan tersebut.
C. Aplikasi Kaidah
Contoh
aplikasi kaidah ini dalam mu’amalah (ekonomi) adalah jika seseorang akan
membeli sepatu di took sepatu. Dalam akadnya meski tidak disebutkan bahwa
pembelian sepatu tersebut adalah dua buah sepatu (kanan dan kiri), otomatis
pihak karyawan toko tidak akan memberikan hanya satu sepatu (sepatu bagian kiri
saja atau kanan saja), namun akan diberikan sepasang sepatu yaitu kanan dan
kiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar