1. Pengertian peradilan, pengadilan, peradilan agama, pengadilan agama.
Kata
“peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awal “per” dan imbuhan “an”.
Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadha”, yang berarti “ memutuskan”,
“melaksanakan”, “menyelesaikan”. [1]
Dalam
literatur-literatur fiqih Islam, “peradilan” disebut “qadha”, artinya
“menyelesaikan” seperti firman Allah:
فلما قضى ز يىد منها وطرا
“Manakala Zaid telah
menyelesaikan keperluannya dari zainab” (QS. Al-Ahzab:37) [2]
Kata “peradilan” menurut istilah fiqih adalah:[3]
1. Lembaga Hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan)
2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang
mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama dasar harus mengikutinya.
Peradilan,
berasal dari bahasa Arab, adil yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia yang
artinya: proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari keadilan atau
penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan peradilan menurut peraturan yang
berlaku. Peradilan merupakan suatu pengertian yang umum. Dalam bahasa Arab
disebut Al-Qadha, artinya proses mengadili dan proses mencari keadilan. Dalam
bahasa Belanda disebut recshtprak.[4]
Sedangkan Pengadilan
merupakan penyelenggara peradilan. Atau dengan perkataan yang lain, pengadilan
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Pembentukan instansi pengadilan terletak dalam bidang hukum
tata negara / tata usaha negara.
Kemudian pengertian dari Peradilan Agama sendiri dapat dirumuskan
sebagai kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam
untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Adapun yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah perkara
dibidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shodaqoh. [5]
Adapun pengertian Pengadilan Agama, adalah suatu badan Peradilan Agama pada tingkat pertama.
PTA, adalah Peradilan Agama Tingkat Banding.[6]
2. Dasar Hukum Peradilan Agama
Peradilan disyari’atkan di dalam Al
Quran dan hadits Nabi. Sebagaimana dijelaskan di dalam Al Quran surah al-Maidah
ayat 49 :
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# wur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& qãZÏFøÿt .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr&ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ßÌã ª!$# br& Nåkz:ÅÁã ÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRè 3 ¨bÎ)ur #ZÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
“Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah
diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.[7]
Dan hadits
yang menunjukkan pensyari’atan peradilan adalah :[8]
إِذَا حَكَمَ
اْلحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجْوَانِ، وَاِذَاحَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ
اَخْطَاءَ
فَلَهَ اَجْرٌ
“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia
memperoleh dua pahala dan apabila ia berijtihad namun salah, maka ia memperoleh
satu pahala”
Setelah
Indonesia merdeka, dasar yuridis Peradilan Agama dikuatkan dengan beberapa
Undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah disamping dasar hukum yang
telah dikuatkan dan disebutkan. Perundang-undangan inilah yang kemudian
menunjukkan keberadaan Peradilan Agama secara eksis di Indonesia, masing-masing
adalah:
a. Perundang-undangan dan peraturan;
1.
Dekrit Presiden.
2.
AturanPresiden
No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945, segala bentuk badan-badan Negara masih berlaku
selama belum ada perubahan dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar
1945.
3.
KeputusanPemerintah
No. 1 Tahun 1946 tentang pembentukan Departemen Agama.
4.
Undang-undangNo.
22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talaq, dan rujuk.
5.
Undang-undangNo.
22 Tahun 1952 peraturan tentang kemungkinan hilangnya surat putusan dan surat-surat
pemeriksaan pengadilan.
6.
Undang-undangNo.
32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1946.
7.
Undang-undang
No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok-pokok kehakiman. Kemudian dari
Undang-undang inilah para pakar hukum mengatakan bahwa Peradilan Agama keberadaannya
semakin kuat karena telah masuk dalam Tata Hukum di Indonesia.
8.
Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
9.
Undang-undang
No. 14 Tahun 1975 tentang mahkamah Agung.
10.
Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
b. Ketetapan
Pemerintah.
1.
No. 1/1945
s/d Tahun 1946 tentang mengadakan Departemen Agama dan balai Pemuda yang
menjadi Departemen Sosial.
2.
No. 5/1945
s/d Tahun 1946 tentang Mahkamah Islam Tinggi bagian Kementrian Kehakiman
dipindahkan ke Menteri Agama (AbdulGani Abdullah, 1991: 9).
c. Peraturan Pemerintah.
1.
PP No. 10 Tahun
1947 tentang sumpah jabatan Hakim, Jaksa, Panitera, dan Panitera Pengganti.
2.
PP No. 19
Tahun 1947 menambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1947.
3.
No. 45 Tahun
1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk luar Jawa
dan Madura, dan sebagian luar Kalimantan Selatan (Djamil Latif, 1983: 13).
4.
PP No. 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.
5.
PP No. 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
6.
PP No. 10
Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
7.
PP No. 45
Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Perubahan atas Peraturan PemerintahNo. 10 Tahun 1983.
d. Keputusan
Presiden
1.
No. 18 Tahun
1977 tentang tunjangan jabatan Hakim pada Peradilan Agama.
2.
No. 17 Tahun
1985 tentang Organisasi kepaniteraan atau Sekretariat Jendral Mahkamah Agung.
e. Peraturan
Mahkamah Agung
1.
No. 1 Tahun
1980 tentang peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
2.
No. 1 Tahun
1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung.
f. Keputusan
Bersama
Ketua
Mahkamah Agung RI, Menteri Agama RI, dan Menteri Kehakiman RI:
KMA/010/SKB/II/1988 tentang tata cara bantuan tenaga Hakim untuk lingkungan Peradilan
Agama dan latihan jabatan bagi Hakim serta Panitera Pengadilan Agama.
g. Keputusan
Ketua Mahkamah Agung
No.
KMA/013/SK/III/1988 tentang pola pembinaan dan pengendalian administrasi
perkara Peradilan Agama.
h. Peraturan
Menteri Agama RI.
1.
No. 1
Tahun1952 tentang Wali Hakim
2.
No. 4
Tahun1952 tentang Wali Hakim untuk Jawa dan Madura
3.
No. 1
Tahun1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
i. Penetapan Pemerintah
1.
No. 5
Tahun1952 tentang Pembentukan Kembali Peradilan Agama Bangil
2.
No. 58 Tahun
1957 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diSumatra
3.
No. 4
Tahun1958 tentang Pembentukan kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
diKalimantan
4.
No. 5
Tahun1958 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
diSulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.
5.
No. 25 Tahun
1958 tentang Pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ahdi
Tanjung Karang untuk daerah Lampung Utara dan Kota Bumi.
j. KeputusanMenteri Agama RI
1.
No. 23 Tahun
1966 tentang pembentukan kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Sumatra,
Nusa Tenggara, Kalimantan danMaluku).
2.
No. 61 Tahun
1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama cabang Jawa dan Madura.
3.
No. 62 Tahun
1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk
Aceh dan Padang.
4.
No. 85 Tahun
1961 tentang Pengakuan Badan PenasehatPerkawinan Penyelesaian Perceraian (BP4)
5.
No.
B/IV/2/5593/1966 tentang peleburan badan Hakim syara’pada dewan Adat Maluku,
Ternate kedalam Pengadilan Agama/ MahkamahSyar’iyah
6.
No. 87 Tahun
1966 tentang Penambahan Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di
daerah tingkat II Sulawesidan Maluku.
7.
No. 4 Tahun
1967 tentang perubahan kantor-kantor Peradilan Agama untuk daerah khusus
Jakarta (Abdul Gani Abdullah,1991: 11). [9]
3.
Unsur-unsur Peradilan
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’.
Secara bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu.
Secara istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena
terwujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’
(unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu,
baik berupa perkataan maupun perbuatan. Di antar unsur-unsur peradilan yaitu:[10]
1. Hakim atau Qadhi yaitu, orang yang diangkat oleh kepala negara untuk
menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh karena penguasa sendiri
tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
2. Hukum yaitu, putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu
perkara
Ada
dua bentuk keputusan hakim:
- Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
- Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
- Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
- Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
3.
Mahkum Bihi yaitu, sesuatu
yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’ ilzam,
yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla’
tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar
itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah
semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan
manusia tetapi salah satu lebih berat.
4.
Mahkum Alaih (si terhukum) yaitu, orang yang dijatuhi hukuman
atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’ adalah yang diminta untuk memenuhi
suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya. Baik tergugat ataupun bukan, seorang
ataupun banyak.
5.
Mahkum Lahu yaitu, orang yang menggugat
suatu hak. Baik hak itu yang murni baginya atau terdapat dua hak tetapi haknya
lebih kuat.
6.
Perkataan atau perbuatan yang menunjuk
kepada hukum (putusan).
Berdasarkan pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara
hanya dalam suatu kejadian yang di perkarakan oleh seseorang terhadap lawannya,
dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima.
Adapun
di Indonesia, unsur-unsur peradilan agama meliputi: [11]
1. Kekuasaan negara yang merdeka.
2. Penyelenggara kekuasaan negara, yakni pengadilan.
3. Perkara yang menjadi wewenang pengadilan.
4. Pihak-pihak yang berperkara.
5. Hukum yang dijadikan rujukan dalam berperkara
6. Prosedur dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara.
7. Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan.
1. Kekuasaan negara yang merdeka.
2. Penyelenggara kekuasaan negara, yakni pengadilan.
3. Perkara yang menjadi wewenang pengadilan.
4. Pihak-pihak yang berperkara.
5. Hukum yang dijadikan rujukan dalam berperkara
6. Prosedur dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara.
7. Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan.
4.
Perbedaan Peradilan Islam dan Peradilan
Agama
Kata peradilan Islam bila tanpa
dirangkaikan dengan kata-kata Indonesia makna yang dimaksudkan adalah peradilan
Islam menurut konsepsi Islam secara universal, maka Peradilan Islam itu
meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Dimanapun
negara Islam, atau negara yang mayoritas muslim di dunia ini azaz peradilannya
mempunyai prinsip-prinsip kesamaan dengan peradilan agama di Indonesia, semua
itu disebabkan karena hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat
diberlakukan manapun yakni bukan hanya untuk satu bangsa atau suatu negara
tertentu saja, dimanapun di dunia ini. Dalam rangka menghindari kekeliruan
pemahaman, apabila yang dimaksud adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka
cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.
Sedangkan Peradilan Agama adalah sebutan
(litelatur) resmi bagi salah satu di antara empat lingkungan Peradilan Negara
atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan
Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha
Negara. Sedangkan dalam Undang-Undang yang baru yakni Undang Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
ditambah dengan Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di
Indonesia sebab dari jenis-jenis perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya
adalah jenis perkara menurut agama Islam. Dirangkaikannya kata-kata Peradilan
Islam dengan di Indonesia adalah karena jenis perkara yang boleh
diadilinya, tidaklah mencangkup segala macam perkara menurut Peradilan Islam
secara universal. Tegasnya Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif,
yang telah disesuaikan (di-mutatis mutandis-kan)
dengan keadaan di Indonesia.
Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa
kata “Peradilan Agama” disamping peradilan khusus di Indonesia, juga
pemakaiannya khusus untuk Peradilan Agama di Indonesia, sedang Peradilan Islam
sifatnya lebih umum dan lebih universal mencangkup peradilan negara-negara
Islam atau negara yang mayoritas Islam.[12]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari sekian penjelasan yang telah diuraikan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan Peradilan Agama adalah kekuasaan Negara
dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh di
antara orang-orang Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan Pengadilan
Agama, adalah suatu badan Peradilan
Agama pada tingkat pertama.
Dasar hukum Peradilan telah disebutkan dalam al-Qur’an yaitu surat
Al-Maidah:49 dan hadits Nabi SAW. Yang artinya “Apabila
seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala dan
apabila ia berijtihad namun salah, maka ia memperoleh satu pahala”. Selain itu
juga ada UU yang mengatur tentang Peradilan Agama diantaranya UU No. 7 Th. 1989
tentang Peradilan Agama kemudian mengalami perubahan dengan munculnya UU No. 3
Th. 2006.
Unsur-unsur Peradilan Agama meliputi Hakim atau Qadhi, hukum, mahkum bihi,
mahkum alaih, mahkum lahu, Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum
(putusan).
Kata Peradilan Agama disamping peradilan khusus di Indonesia, juga
pemakaiannya khusus untuk Peradilan Agama di Indonesia, sedang Peradilan Islam
sifatnya lebih umum dan lebih universal mencangkup peradilan negara-negara
Islam atau negara yang mayoritas Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Zuriah Erfaniah, Peradilan Agama
Indonesia, (Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2009), cet. Ke- II
Ash-Shiddieqy Hasbi, Peradilan dan Hukum
Acara Islam, (Yogyakarta: PT. Ma’arif)
Bisri Cik Hasan, Peradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada , 2000) cet. Ke -3.
http://restuandrian.blogspot.com/2012/05/pengertian-peradilan-pengadilan-dan.html diakses pada tanggal 11 September
pukul 15.34 wib.
http://ahwalussyaksiyah.webs.com/apps/blog/show/14253291-dasar-hukum-peradilan-agama- diakses pada tanggal 11 September pukul
15.34 wib.
http://peradilandiindonesia.blogspot.com/2012/03/prinsip-dan-unsur-peradilan-islam.html
diakses pada tanggal 11 September pukul
15.34 wib.
Al-Qur’an dan Terjemah
[1]Erfaniah Zuriah, Peradilan Agama Indonesia,
(Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2009), cet. Ke- II. Hal. 1.
[5] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada , 2000) cet. Ke -3. hal. 6-7.
[8] http://restuandrian.blogspot.com/2012/05/pengertian-peradilan-pengadilan-dan.html diakses pada tanggal 11 September pukul
15.34 wib.
[9]http://ahwalussyaksiyah.webs.com/apps/blog/show/14253291-dasar-hukum-peradilan-agama- diakses pada tanggal 11 September pukul
15.34 wib.
[11] http://peradilandiindonesia.blogspot.com/2012/03/prinsip-dan-unsur-peradilan-islam.html
diakses pada tanggal 11 September pukul
15.34 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar