Senin, 25 Mei 2015

PERADILAN DAN PENGADILAN AGAMA

1.    Pengertian peradilan, pengadilan, peradilan agama, pengadilan agama.
Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awal “per” dan imbuhan “an”. Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadha”, yang berarti “ memutuskan”, “melaksanakan”, “menyelesaikan”. [1]
Dalam literatur-literatur fiqih Islam, “peradilan” disebut “qadha”, artinya “menyelesaikan” seperti firman Allah:
فلما قضى ز يىد منها وطرا
“Manakala Zaid telah menyelesaikan keperluannya dari zainab” (QS. Al-Ahzab:37) [2]
Kata “peradilan” menurut istilah fiqih adalah:[3]
1.      Lembaga Hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan)
2.      Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama dasar harus mengikutinya.
Peradilan, berasal dari bahasa Arab, adil yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia yang artinya: proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian sengketa hukum dihadapan badan peradilan menurut peraturan yang berlaku. Peradilan merupakan suatu pengertian yang umum. Dalam bahasa Arab disebut Al-Qadha, artinya proses mengadili dan proses mencari keadilan. Dalam bahasa Belanda disebut recshtprak.[4]
Sedangkan Pengadilan merupakan penyelenggara peradilan. Atau dengan perkataan yang lain, pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan instansi pengadilan terletak dalam bidang hukum tata negara / tata usaha negara.
Kemudian pengertian dari Peradilan Agama sendiri dapat dirumuskan sebagai kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Adapun yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah perkara dibidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shodaqoh. [5]
Adapun pengertian Pengadilan Agama, adalah suatu  badan Peradilan Agama pada tingkat pertama. PTA, adalah Peradilan Agama Tingkat Banding.[6]

2. Dasar Hukum Peradilan Agama

Peradilan disyari’atkan di dalam Al Quran dan hadits Nabi. Sebagaimana dijelaskan di dalam Al Quran surah al-Maidah ayat 49 :
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& šqãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr&ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ߃̍ムª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.[7]

Dan hadits yang menunjukkan pensyari’atan peradilan adalah :[8]
إِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجْوَانِ، وَاِذَاحَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ
اَخْطَاءَ فَلَهَ اَجْرٌ
“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila ia berijtihad namun salah, maka ia memperoleh satu pahala”
Setelah Indonesia merdeka, dasar yuridis Peradilan Agama dikuatkan dengan beberapa Undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah disamping dasar hukum yang telah dikuatkan dan disebutkan. Perundang-undangan inilah yang kemudian menunjukkan keberadaan Peradilan Agama secara eksis di Indonesia, masing-masing adalah:




a. Perundang-undangan dan peraturan;
1.        Dekrit Presiden.
2.        AturanPresiden No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945, segala bentuk badan-badan Negara masih berlaku selama belum ada perubahan dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
3.        KeputusanPemerintah No. 1 Tahun 1946 tentang pembentukan Departemen Agama.
4.        Undang-undangNo. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talaq, dan rujuk.
5.        Undang-undangNo. 22 Tahun 1952 peraturan tentang kemungkinan hilangnya surat putusan dan surat-surat pemeriksaan pengadilan.
6.        Undang-undangNo. 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1946.
7.        Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok-pokok kehakiman. Kemudian dari Undang-undang inilah para pakar hukum mengatakan bahwa Peradilan Agama keberadaannya semakin kuat karena telah masuk dalam Tata Hukum di Indonesia.
8.        Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
9.        Undang-undang No. 14 Tahun 1975 tentang mahkamah Agung.
10.    Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
b. Ketetapan Pemerintah.
1.    No. 1/1945 s/d Tahun 1946 tentang mengadakan Departemen Agama dan balai Pemuda yang menjadi Departemen Sosial.
2.    No. 5/1945 s/d Tahun 1946 tentang Mahkamah Islam Tinggi bagian Kementrian Kehakiman dipindahkan ke Menteri Agama (AbdulGani Abdullah, 1991: 9).

c.  Peraturan Pemerintah.
1.    PP No. 10 Tahun 1947 tentang sumpah jabatan Hakim, Jaksa, Panitera, dan Panitera Pengganti.
2.    PP No. 19 Tahun 1947 menambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1947.
3.    No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk luar Jawa dan Madura, dan sebagian luar Kalimantan Selatan (Djamil Latif, 1983: 13).
4.    PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.
5.    PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
6.    PP No. 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
7.    PP No. 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Perubahan atas Peraturan PemerintahNo. 10 Tahun 1983.
d. Keputusan Presiden
1.    No. 18 Tahun 1977 tentang tunjangan jabatan Hakim pada Peradilan Agama.
2.    No. 17 Tahun 1985 tentang Organisasi kepaniteraan atau Sekretariat Jendral Mahkamah Agung.
e. Peraturan Mahkamah Agung
1.    No. 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.    No. 1 Tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung.
f. Keputusan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Agama RI, dan Menteri Kehakiman RI: KMA/010/SKB/II/1988 tentang tata cara bantuan tenaga Hakim untuk lingkungan Peradilan Agama dan latihan jabatan bagi Hakim serta Panitera Pengadilan Agama.
g. Keputusan Ketua Mahkamah Agung
No. KMA/013/SK/III/1988 tentang pola pembinaan dan pengendalian administrasi perkara Peradilan Agama.
h. Peraturan Menteri Agama RI.
1.    No. 1 Tahun1952 tentang Wali Hakim
2.    No. 4 Tahun1952 tentang Wali Hakim untuk Jawa dan Madura
3.    No. 1 Tahun1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
     i. Penetapan Pemerintah
1.    No. 5 Tahun1952 tentang Pembentukan Kembali Peradilan Agama Bangil
2.    No. 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diSumatra
3.    No. 4 Tahun1958 tentang Pembentukan kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah diKalimantan
4.    No. 5 Tahun1958 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah diSulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.
5.    No. 25 Tahun 1958 tentang Pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ahdi Tanjung Karang untuk daerah Lampung Utara dan Kota Bumi.


 j. KeputusanMenteri Agama RI
1.    No. 23 Tahun 1966 tentang pembentukan kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Sumatra, Nusa Tenggara, Kalimantan danMaluku).
2.    No. 61 Tahun 1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama cabang Jawa dan Madura.
3.    No. 62 Tahun 1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk Aceh dan Padang.
4.    No. 85 Tahun 1961 tentang Pengakuan Badan PenasehatPerkawinan Penyelesaian Perceraian (BP4)
5.    No. B/IV/2/5593/1966 tentang peleburan badan Hakim syara’pada dewan Adat Maluku, Ternate kedalam Pengadilan Agama/ MahkamahSyar’iyah
6.    No. 87 Tahun 1966 tentang Penambahan Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah tingkat II Sulawesidan Maluku.
7.    No. 4 Tahun 1967 tentang perubahan kantor-kantor Peradilan Agama untuk daerah khusus Jakarta (Abdul Gani Abdullah,1991: 11). [9]
3.        Unsur-unsur Peradilan
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Di antar unsur-unsur peradilan yaitu:[10]
1.    Hakim atau Qadhi yaitu, orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
2.    Hukum yaitu, putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara
Ada dua bentuk keputusan hakim:
- Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
- Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
3.    Mahkum Bihi yaitu,  sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
4.    Mahkum Alaih (si terhukum) yaitu, orang yang dijatuhi hukuman atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’ adalah yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya. Baik tergugat ataupun bukan, seorang ataupun banyak.
5.    Mahkum Lahu yaitu, orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu yang murni baginya atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.
6.    Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan).
Berdasarkan pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang di perkarakan oleh seseorang terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima.
Adapun di Indonesia, unsur-unsur peradilan agama meliputi: [11]
1. Kekuasaan negara yang merdeka.
2. Penyelenggara kekuasaan negara, yakni pengadilan.
3. Perkara yang menjadi wewenang pengadilan.
4. Pihak-pihak yang berperkara.
5. Hukum yang dijadikan rujukan dalam berperkara
6. Prosedur dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara.
7. Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan.

4.    Perbedaan Peradilan Islam dan Peradilan Agama
Kata peradilan Islam bila tanpa dirangkaikan dengan kata-kata Indonesia makna yang dimaksudkan adalah peradilan Islam menurut konsepsi Islam secara universal, maka Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Dimanapun negara Islam, atau negara yang mayoritas muslim di dunia ini azaz peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan dengan peradilan agama di Indonesia, semua itu disebabkan karena hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan manapun yakni bukan hanya untuk satu bangsa atau suatu negara tertentu saja, dimanapun di dunia ini. Dalam rangka menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksud adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.
Sedangkan Peradilan Agama adalah sebutan (litelatur) resmi bagi salah satu di antara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan dalam Undang-Undang yang baru yakni Undang Undang No. 4 Tahun 2004 tentang  Kekuasaan Kehakiman ditambah dengan Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia sebab dari jenis-jenis perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Dirangkaikannya kata-kata Peradilan Islam dengan di Indonesia adalah karena jenis perkara yang boleh diadilinya, tidaklah mencangkup segala macam perkara menurut Peradilan Islam secara universal. Tegasnya Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif, yang telah disesuaikan  (di-mutatis mutandis-kan) dengan keadaan di Indonesia.
Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa kata “Peradilan Agama” disamping peradilan khusus di Indonesia, juga pemakaiannya khusus untuk Peradilan Agama di Indonesia, sedang Peradilan Islam sifatnya lebih umum dan lebih universal mencangkup peradilan negara-negara Islam atau negara yang mayoritas Islam.[12]

BAB III 
PENUTUP
Kesimpulan
Dari sekian penjelasan yang telah diuraikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan Peradilan Agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh di antara orang-orang Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.  Sedangkan Pengadilan Agama, adalah suatu  badan Peradilan Agama pada tingkat pertama.
Dasar hukum Peradilan telah disebutkan dalam al-Qur’an yaitu surat Al-Maidah:49 dan hadits Nabi SAW. Yang artinya “Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila ia berijtihad namun salah, maka ia memperoleh satu pahala”. Selain itu juga ada UU yang mengatur tentang Peradilan Agama diantaranya UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama kemudian mengalami perubahan dengan munculnya UU No. 3 Th. 2006.
Unsur-unsur Peradilan Agama meliputi Hakim atau Qadhi, hukum, mahkum bihi, mahkum alaih, mahkum lahu, Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan).
Kata Peradilan Agama disamping peradilan khusus di Indonesia, juga pemakaiannya khusus untuk Peradilan Agama di Indonesia, sedang Peradilan Islam sifatnya lebih umum dan lebih universal mencangkup peradilan negara-negara Islam atau negara yang mayoritas Islam.



DAFTAR PUSTAKA
Zuriah Erfaniah, Peradilan Agama Indonesia, (Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2009), cet. Ke- II
Ash-Shiddieqy Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta: PT. Ma’arif)
Bisri Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada , 2000) cet. Ke -3.
http://restuandrian.blogspot.com/2012/05/pengertian-peradilan-pengadilan-dan.html diakses pada tanggal 11 September pukul  15.34 wib.

Al-Qur’an dan Terjemah


[1]Erfaniah Zuriah, Peradilan Agama Indonesia, (Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2009), cet. Ke- II. Hal. 1.
[2] Al-Qur’an terjemah
[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta: PT. Ma’arif) hal. 129.
[4] Erfaniah Zuriah, Peradilan Agama Indonesia.,,, hal. 6.
[5] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada , 2000) cet. Ke -3. hal. 6-7.
[6] Erfaniah Zuriah, Peradilan Agama Indonesia.,,, hal. 7.
[7] Al-Qur’an terjemah
[8] http://restuandrian.blogspot.com/2012/05/pengertian-peradilan-pengadilan-dan.html diakses pada tanggal 11 September  pukul  15.34 wib.

[10]Erfaniah Zuriah, Peradilan Agama Indonesia,…hal. 9-10.
[12] Ibid ,.. hal. 14-17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar