Minggu, 10 Mei 2015

Sejarah Pemikiran Hukum Islam




Pemikiran Hukum Islam Era Khulafaur Rasyidin
Kemunculannya sejak meninggalnya Rasulullah saw sampai awal menjabatnya Muawiyah bin Abi Sufyan (41H/661M), rinciannya:
1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
2.      Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
3.      Utsman bin Affan (25-35 H/646-656 M)
4.      Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Ditandai dengan:
·         Perluasan Islam sampai Persia, Syiria, Mesir.
·         Hukum Islam bersentuhan dengan persoalan baru yang berbeda secara sosial dan kultural.
·         Perubahan situasi kondisi menuntut para sahabat untuk menggali terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
·         Banyak persoalan yang tidak ada ketentuan dalam nash.
·         Jika tidak diketahui nash, maka menggali kaidah-kaidah dasar dan kajian moral dari berbagai tema yang ada dalam al-Qur’an.
·         Kadang terjadi perbedaan antar sahabat dalam memahami pesan suatu nash.
·         Salah satu persoalan baru adalah mengenai status ahli dzimmah dalam negara Islam
Sumber Hukum Islam:
Ø  Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahabat, Qiyas
Peristiwa penting:
·         Pengumpulan al-Qur’an ( Jam’ul Qur’an)
·         Kehati-hatian dalam periwayatan Sunnah
Contoh Ijtihad pada masa ini:
·         Masalah perampasan perang:
1.      Umar bin Khattab: tidak membagi tanah sawad kepada prajurit. Pendapat ini didukung Utsman, Mu’ad bin Jabal, Talhah.
2.      Abdurrahman bin ‘Auf, Ammar bin Yasir, Bilal bin Rabbah Menolak pendapat Umar, dan mereka menuntut agar 4/5 tanah sawad dibagikan kepada prajurit.
·         Iddah (masa tunggu) wanita yang ditalak suaminya:
1.      Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khattab: Iddah bearkhir ketika dia mandi dari haid yang ketiga sesudah talak. Menafsirkan kata quru’ : haid.
2.      Zaid bin Tsabit: wanita boleh menikah setelah memasuki haid ketiga. Zaid memaknai quru’ : suci.
Sebab terjadi Ikhtilaf:
1.      Perbedaan dalam memaknai nash al-Qur’an dan Hadits
2.      Munculnya dua persoalan yang merujuk pada nash yang berlawanan
3.      Sebagian sahabat memutuskan persoalan berdasarkan sunnah, sementara yang lain menganggap itu bukan sunnah yang sahih, seperti mahar
4.      Perbedaan kaidah dan metode Ijtihad para sahabat
5.      Kebebasan dan kesungguhan para sahabat dalam melakukan Ijtihad dalam menghadapi berbagai persoalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar