Kamis, 07 Mei 2015

“Peran Imam Abu Yusuf dalam Perekonomian Islam Masa Dinasti Abbasiyah” Makalah ini di susun untuk memenuhi tug



A.    Latar Belakang
Kecenderungan kajian ekonomi Islam belakangan ini masih terjebak pada kajian yang bersifat normatif. Kajian tersebut masih berkisar pada penjelasan filosofis maupun normatifitas satu kegiatan ekonomi. Oleh karenanya menarik untuk dibicarakan satu tokoh ekonomi yang brilian di masanya, yaitu Abu Yusuf, yang terkenal dengan kitab Kharaj-nya (Manual on Land Tax) yang hidup pada masa Khalifah Harun al-Rasyid untuk menemukan kembali jejak-jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam.
Pembahasan ini akan diawali dengan biografi Abu Yusuf, pemikiran ekonomi Abu Yusuf mengenai negara dan aktifitas ekonomi, teori perpajakan, mekanisme pasar dan diakhiri dengan kesimpulan sebagai kontekstualisasi pemikirannya pada zaman sekarang.
B.  Pentingnya Pembuatan Makalah
            Sebagai bahan eksplorasi konsep ekonomi Islam pada zaman dahulu khususnya pada zaman Abu Yusuf serta kontekstualisasinya di era sekarang ini.
C.    Rumusan Masalah
1.1  Bagaimana Biografi Imam Abu Yusuf sebagai tokoh dalam perekonomian Islam?
1.2  Bagaimana Pemikiran Ekonomi menurut Imam Abu Yusuf?
1.3  Apa Pandangan Imam Abu Yusuf mengenai Aktifitas Ekonomi dalam suatu Negara?
1.4  Bagaimana Teori Perpajakan yang diusung oleh Imam Abu Yusuf?
1.5  Apa dan Bagaimana Mekanisme Harga yang diusung oleh Imam Abu Yusuf?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Biografi  Imam Abu Yusuf
Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais Bin Sa’ad Al-Anshari Al-Jalbi Al-Kufi Al-Baghdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf. Dia lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Dari nasab ibunya, ia masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW., Sa’ad Al-Anshari. Keluarganya bukan berasal dari lingkungan berada, tetapi sejak kecil, ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dipengaruhi oleh suasana Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban Islam, tempat para cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia Islam datang silih berganti untuk saling bertukar pikiran tentang berbagai bidang keilmuan.[1]
Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad Atha bin As-Saib Al-Kufi, Sulaiman bin Mahran Al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabar, dan Al-Hajjaj bin Arthah. Selain itu, ia juga menuntut ilmu kepada Abu Hanifah hingga sang guru tersebut meninggal dunia.[2]
Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan kecerdasan, Abu Yusuf tumbuh sebagai seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun masyarakat umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya. Diantara tokoh besar yang menjadi muridnya adalah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, Ahmad bin Hanbal, Yazid bin Harun Al-Wasithi. Disisi lain, sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, Harun Ar-Rasyid[3] mengangkat Abu Yusuf sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi Al-Qudhah).
Walaupun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Beliau masih meluangkan waktu untuk menulis. Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat monumental adalah Kitab Al-Kharaj (Buku tentang Perpajakan). Penulisan Kitab Al-Kharaj versi Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pertanyaan Khalifah Harun Ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. Dengan demikian, Kitab Al-Kharaj mempunyai orientasi birokratik karena ditulis untuk merespons permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid yang ingin menjadikannya sebagai petunjuk administratif dalam rangka mengelola lembaga Baitul mal dengan baik dan benar, sehingga negara dapat hidup makmur dan rakyat tidak terzalimi.[4]
Sekalipun berjudul Al-Kharaj, kitab tersebut tidak hanya mengandung pembahasan tentang Al-Kharaj, melainkan juga meliputi berbagai sumber pendapatan negara lainnya, seperti ghanimah, fai, kharaj, ushr, jizyah, dan shodaqoh, yang dilengkapi dengan cara-cara mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis harta tersebut sesuai dengan syariat Islam berdasarkan dalil naqliah (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan dalil aqliah (rasional).
Seperti halnya kitab-kitab sejenis yang lahir pada lima abad pertama Hijriah, penekanan kitab karya Abu Yusuf ini terletak pada tanggung jawab pemguasa terhadap kesejahteraan rakyat. Secara umum, Kitab Al-Kharaj berisi tentang berbagai ketentuan agama yang membahas persoalan perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan publik. Dengan menggunakan pendekatan pragmatis dan bercorak fiqh, buku ini tidak sekedar penjelasan tentang sistem keuangan Islam, tetapi lebih dari itu, ia merupakan sebuah upaya untuk membangun sistem keuangan yang mudah dilaksanakan sesuai dengan hukum Islam dalam kondisi yang selalu berubah dan sesuai dengan persyaratan ekonomi.[5]
2.2  Pemikiran Ekonomi
Dengan latar belakang sebagai seorang fuqoha yang beraliran  ahl ar-ra’yu,[6] Abu Yusuf cenderumg memaparkan berbagai pemikiran ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas  yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan hadits Nabi, Atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang saleh. Landasan pemikirannya, seperti yang telah disebutkan adalah mewujudkan al-maslahah al-‘ammah (kemaslahatan umum). Pendekatan ini memuat berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.[7]
Kemudian kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari berbagai prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber perbelanjaan untuk pembangunan jangka panjang, seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.[8]
Suatu studi komparatif tentang pemikiran Abu Yusuf menunjukkan bahwa berabad-abad sebelum adanya kajian yang sistematis mengenai keuangan publik di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan pajak. Ia menolak tegas pajak pertanian dan menekan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap para pemungut pajak untuk menghindari korupsi dan tindakan penindasan.

2.3  Aktifitas Ekonomi pada Negara
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejateraan rakyat. Ia selalu menekan pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi pada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Umar Ibn Al-Khattab, ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah, tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan.
Ketika berbicara tentang pengadaan fasilitas infrastruktur, Abu Yusuf menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhinya agar dapat meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh negara. Lebih jauh, ia menyatakan, “Jika proyek seperti itu menghasilkan perkembangan dan peningkatan dalam kharaj, pemerintah harus memerintahkan penggalian kanal-kanal ini. Semua biaya harus ditanggung oleh keuangan negara. Jangan menarik biaya itu dari rakyat diwilayah tersebut karena mereka seharusnya ditingkatkan, bukan dihancurkan. Setiap permintaan masyarakat pembayar kharaj untuk perbaikan dan sebagainya, termasuk peningkatan dan perbaikan tanah dan kanal mereka, harus dipenuhi selama hal itu tidak merusak yang lain.
Untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan ekonomi, negara membutuhkan administrasi yang efisien dan jujur serta disiplin moral yang tegas dan rasa tanggung jawab dalam menunjuk para pejabatnya. Abu Yusuf menyarankan agar negara menunjuk pejabat yang jujur dan amanah dalam berbagai tugas. Ia juga berpendapat bahwa perlakuan yang adil dan jujur terhadap para pembayar pajak tanpa penindasan memiliki dampak yang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan pajak. Ketika menekankan  sifat administrasi yang baik, Abu Yusuf menyatakan bahwa administrasi yang efisien dan jujur diperlukan untuk bekerja dengan tegas tanpa sikap tirani dan sikap murah hati tanpa penindasan.[9]
Sesuai dengan ekonomi negara pada masa awal Islam yang bertumpu pada hasil pertanian, para cendikiawan muslim banyak menekan pada cara memanfaatkan tanah gersang yang tidak ditanami. Dalam hal ini, Abu Yusuf mengatakan bahwa semua jenis tanah mati dan tak bertuan harus diberikan kepada seseorang yang dapat mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak yang diterapkan pada tanah tersebut. Tindakan seperti ini akan membuat negara berkembang dan pajak pendapatan akan meningkat.
Untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan menjamin pemanfaatan sumber-sumber sepenuhnya, Abu Yusuf berpendapat bahwa sumber alam seperti air, rumput, dan sebagainya tidak boleh dibatasi pada individu tertentu, tapi harus disediakan secara gratis bagi semua. Ia mengutip sebuah hadits Nabi  yang menyatakan, “Setelah digunakan untuk kebutuhanmu, biarkanlah air itu mengalir ke tenggamu, yang dimulai dari tetangga yang paling dekat.”
Dalam hal pendistribusian pendapatan negara, Abu Yusuf mengingatkan bahwa hal tersebut ditujukan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Al-Qur’an telah memerintahkan agar pendistribusian harta dilakukan secara adil dan tidak menumpuk ditangan segelintir orang. Berkaitan dengan hal ini, Abu Yusuf mengutip pernyataan Khalifah Umar ibn Al-Khattab,
“ pajak dibenarkan jika dipungut dengan cara yang adil dan sah dan digunakan secara adil dan sah pula. Berkaitan dengan pajak yang dipungut, aku menganggap diriku sendiri seperti wali kekayaan seorang anak yatim. Masyarakat memiliki hak untuk bertanya, apakah saya menggunakan pajak yang terkumpul itu dengan cara yang sah.”[10]
2.4 Teori Perpajakan
Dalam hal perpajakan, Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak merupakan beberapa prinsip yang ditekankannya.
Dalam hal penetapan pajak, Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya, cara ini lebih adil dan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dengan kata lain, ia lebih merekomendasikan penggunaan sistem muqasamah (proporsional tax) dari pada sistem misahah (fixed tax) yang telah berlaku sejak masa pemerintahan Khalifah Umar hingga periode awal pemerintahan dinasti Abbasiyah.
Perubahan sistem penetapan pajak dari sistem misahah menjadi sistem muqasamah sebenarnya telah dipelopori oleh muawiyah bi Yasar, seorang wazir pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mahdi. Akan tetapi, pada saat itu, presentase bagian negara umumnya dianggap terlalu tinggi oleh para petani. Apa yang dilakukan oleh Abu Yusuf telah mengadopsi sistem muqasamah dengan menetapkan presentase negara tidak memberatkan para petani.
Dalam pandangan Abu Yusuf, kondisi keuangan yang ada menuntut perubahan sistem misahah yang sudah tidak efisien dan tidak relevan pada masa hidupnya. Ia menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Umar, ketika sistem misahah digunakan, sebagaian besar tanah dapat ditanami dan hanya sebagian kecil yang tidak bisa ditanami. Wilayah yang ditanami bersama sebagian kecil yang tidak ditanami diklasifikasikan menjadi satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari tanah yang tidak ditanami.
Disisi lain, Abu Yusuf melihat bahwa pada masanya ada wilayah yang tidak ditanami selama ratusan tahun dan para petani tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupkannya. Dalam situasi demikian, pajak yang menetapkan ukuran panen yang pasti atau jumlah uang tunai yang pasti akan membebani para pembayar pajak dan hal itu dapat mengganggu kepentingan keuangan publik.
Argumen Abu Yusuf tersebut menunjukkan bahwa jumlah pajak yang pasti berdasarkan ukuran tanah (baik yang ditanami maupun tidak) dibenarkan hanya jika tanah tersebut subur. Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk membebani pajak yang pasti tanpa mempertimbangkan kesuburan tanah tersebut karena hal itu akan memengaruhi para pemilik tanah yang tidak subur.
Argumen kedua dan yang paling utama dalam menentang sistem misahah adalah tidak adanya ketentuan apakah pajak dikumpulkan dalam jumlah uang atau barang tertentu. Abu Yusuf menyadari sepenuhnya dampak perubahan harga terhadap para pembayar pajak dan pendapatan pemerintah apabila sistem misahah diterapkan dengan tarif yang pasti dikenakan, baik dalam bentuk sejumlah uang tertentu maupun sejumlah barang tertentu.
Lebih jauh lagi Abu Yusuf menekankan bahwa metode penetapan pajak secara proporsional dapat meningkatkan pendapatan negara dari pajak tanah dan, di sisi lain, mendorong para petani untuk meningkatkan produksinya. Ia menyatakan,
“Dalam pandangan saya, sistem perpajakan terbaik untuk menghasilkan pemasukan lebih banyak bagi keuangan negara dan yang paling tepat untuk menghindari kezaliman terhadap para pembayar pajak oleh para pengumpul pajak adalah pajak pertanian secara proporsional. Sistem ini akan menghalau kezaliman terhadap para pembayar pajak dan menguntungkan keuangan negara.”[11]
Maka dari itu Abu Yusuf sangat merekomendasikan penyediaan fasilitas infrastruktur bagi para petani. Dalam sistem misahah peningkatan produktifitas tidak akan menguntungkan Negara. Dalam muqasamah, peningkatan dalam produktifitas akan menguntungkan keuangan Negara dan sekaligus pembayaran pajak. Dalam hal ini, dukungan terhadap penggunaan sistem muqasamah mengidentifikasikan bahwa beliau lebih mengutamakan hasil dari tanah itu sendiri sebagai dasar pajak.
            Sedangkan terhadap administrasi keuangan, abu yusuf memiliki sebuah pandangan tentang administrasi pajak dan dampaknya terhadap ekonomi. Penekanannya pada sifat administrasi pajak terpusat pada penilaiannya terhadap lembaga qabalah yaitu sistem pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin, dan dalam hal ini abu yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan system tersebut, karena pengumpulan pajak yang dilakukan tanpa adanya penjamin (langsung) akan mendatangkan pemasukan yang lebih tinggi. System ini pun dapat menimbulkan tindakan eksploitatif dan penindasan terhadap para petani serta menyebabkan efek negative terhadap pendapatan pajak.
            Untuk mencapai prinsip keadilan dalam administrasi pajak, abu yusuf menyarankan agar para penguasa membedakan antara tanah yang tandus dan tanah yang subur, mengenai efesiensi dalam pengumpulan pajak, ia menyarankan agar pajak dipungut tanpa penundaan karena akan menimbulkan kerusakan pada hasil pertanian yang berarti dapat memberikan efek negative terhadap Negara, pembayaran pajak, sekaligus memperlambat perkembangan pertanian.[12]
Kharaj adalah pajak tanah yang yang dikuasai oleh kaum muslim, baik karena peperangan maupun karena pemiliknya mengadakan perjanjian damai dengan pasukan muslim. Mereka tetap menjadi pemilik sah dari tanah-tanahnya tetapi dengan membayar pajak (kharaj) sejumlah tertentu kepada Baitul Mal. Sedangkan usyur merupakan bentuk jama’ dari kata usyr artinya sepersepuluh atau 10 persen. Ia merujuk kepada kadar zakat pertanian dan bea cukai yang dikenakan kepada pedagang muslim maupun nonmuslim yang melintasi wilayah Daulah Islamiyah.[13]
Terlepas dari prinsip-prinsip perpajakan, dan pertanggungjawaban negara Islam terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara mendapatkan sumber perbelanjaan untuk pembangunan jangka panjang seperti pembangunan jembatan, dan bendungan, serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.[14]
Dengan kata lain tema sentral pemikiran ekonominya menekan pada tanggung jawab penguasa untk menyejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang pada kemudian hari diambil oleh para ahli ekonomi sebagai canon of taxation.[15]
2.5 Mekanisme Harga
            Abu yusuf juga tercatat sebagai ulama yang memulai menyinggung mekanisme pasar, ia memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Fenomena yang terjadi pada masa itu adalah ketika terjadinya kelangkaan barang maka harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah.[16]
Dengan kata lain, pemahaman yang terjadi pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva permintaan. Dalam literatur kontemporer fenomena ini dapat dijelaskan dalam teori permintaan, yang menjelaskan hubungan antara harga dengan banyaknya kuantitas yang diminta.[17]

            Formulasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi adalah negatif, yaitu apabila harga (P) naik makan kuantitas (Q) turun, begitu juga sebaliknya jika harga (P) turun maka kuantitas (Q) menjadi naik.
Fenomena umum inilah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf dengan tegas. Berdasarkan observasinya dalam memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga, beliau menyatakan bahwa persediaan barang yang sedikit tidak selalu mengakibatkan harga akan mahal, dan bila persediaan barang banyak atau melimpah, harga pun tidak selalu akan turun.[18]
Abu Yusuf berkata: “kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.

Menurut Abu Yusuf, dapat saja harga-harga tetap mahal (P), ketika persediaan barang melimpah (Q), sementara harga akan murah walaupun persediaan barang berkurang (Q). Formulasi ini menunjukkan adanya kesamaan dalam hukum penawaran dimana hubungan antara harga dengan banyaknya komodoti yang ditawarkan mempunyai kemiringan positif.[19]
Bila harga komoditi naik, maka akan direspon oleh penambahan jumlah komoditi yang ditawarkan. Begitu juga apabila harga komoditi turun, maka akan direspon oleh penurunan jumlah komoditi yang ditawarkan.[20]
Berdasarkan latar belakang di atas Abu Yusuf kemudian mengeluarkan analisis ekonominya terkait pengendalian harga (tas’ir). Beliau melarang penguasa yang melakukan penetapan harga. Hal itu dikarenakan murahnya suatu harga bukan berarti karena melimpahnya suatu komoditas barang, demikian juga mahalnya harga bukan berarti disebabkan oleh kelangkaan suatu komoditas. Karena murah dan mahal merupakan ketentuan Allah SWT. Abu Yusuf mengindikasikan adanya variabel-variabel lain yang juga turut mempengaruhi naik turunnya harga, misalnya jumlah uang yang beredar di negara itu, penimbunan, penahanan barang, atau lainnya.
Untuk menguatkan pendapatnya tersebut beliau melandasinya dengan hadis yang menyatakan larangan pengendalian harga,
قال وحدَّ ثَني سُفْيَا نُ بْنٍ عُيَيْنَة عَنْ أيُّوْبٍ عَنْ الْحسَنِ قَال غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولٍ اللّهِ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقال النَّاسُ يَا رَسُو ل  اللّه ألاَتُسَعِّرْلَنَا فَقَالَ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ اللّهَ هُوَالْمُسَعِّرُإنَّ اللّهَ هُوَالْقَا بِضُ إنَّ اللّهَ هُوَ الْبَا سِطُ وَإنِّي واللّهِ مَا أُ عْطِيْكُمْ شَيْئًا وَلاَ أُمْنِعُكُمُوهُ وَلَكِنْ إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ أَضَعُ هَذَا الأمْرَحَيْث أُمِرْتُ وَإِنِّيْ لَأجُو أنْ ألْقَى اللّهَ وَلَيْسَ أحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ ظَلَمْتهَاإيّاهُ فِى نَفْسٍ وَلاَدَمٍ وَلاَمَالٍ

Artinya: Dia berkata: Sufyan bin Uyainah menceritakan kepadaku dari Ayyub dari Hasan, dia berkata: Pada masa Rasulullah Saw pernah terjadi kenaikan harga. Orang-orang berkata: Mengapa engkau tidak menetapkan harga untuk kami. Nabi Saw menjawab: Sesungguhnya Allahlah yang menentukan harga, yang menahan dan memberikan (rezeki). Demi Allah, aku tidak memberikan dan menahan sesuatu kepada kalian, aku hanyalah yang menyimpan (sesuatu) aku melakukan urusan ini sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadaku. Dan aku berharap dapat menemui Allah dimana tidak ada salah seorang pun yang menuntutku karena kezaliman yang aku lakukan padanya menyangkut jiwa, darah dan harta.
Persoalan harga baik naik maupun turun merupakansunnatullah dalam perekonomian menurut kenormalan dalam batasan pasar sempurna, dimana naik turunnya harga merupakan hasil dari permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Pertemuan permintaan dan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada suatu tingkat harga. Dengan demikian, konsep harga pada keadaan ini mempunyai
implikasi penting dalam ilmu ekonomi, yaitu keadaan pasar yang kompetitif (sempurna).
Namun jika dalam hal adanya praktik tidak terpuji (rekayasa harga), maka Islam mengajarkan konsep intervensi otoritas resmi yang diberikan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pengendalian harga dan pematokan harga yang dikenal dengan istilah tas’ir jabari, yakni penetapan harga secara paksa karena pertimbangan kemaslahatan secara umum.
Penting untuk diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah suplai bahan makanan dan mereka menghindari kontrol harga. Kecenderungan yang ada dalam pemikiran ekonomi Islam adalah membersihkan pasar dari praktik penimbunan, monopoli, dan praktek korup lainnya dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran.[21]



















BAB III
SIMPULAN

Imam Abu yusuf menekankan terhadap tanggungjawab penguasa dalam pemikiran ekonomi islamnya, sehingga beliau pun mengirimkan surat kepada Khalifah Harun Al-Rasyid, surat ini berisikan mengenai pembahasan tentang pertanian dan perpajakan.
Imam Abu yusuf menyetujui Negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan.
Sedangkan dalam hal pajak, beliau meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang akhirnya dikenal oleh para ekonom sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah merupakan prinsip yang ditekankannya. Dalam hal in pun abu yusuf dengan keras menentang pajak pertanian. Ia menyarankan agar petugas pajak diberi gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk mencegah korupsi dan praktik penindasan.
Kemudian mengenai analisis ekonomi, imam abu yusuf menekankan masalah pengendalian harga (tasir) yang kemudian menjadi sebuah kontroversi. Beliau menentang penguasa yang menetapkan harga, abu yusuf menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan bukan alas an untuk menurunkan harga panen dan juga sebaliknya, kelangkaan sendiri tidak mengakibatkan harga menjadi melambung. Karena ada sebuah kemungkinan bahwa kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan berdampingan dengan harga yang rendah, namun abu yusuf pun tidak menolak permintaan dan penawaran dalam penentuan harga. Dan juga kekuatan utama imam abu yusuf adalah dalam hal keuangan publik.









Daftar Pustaka

Abdullah Boedi, PERADABAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2011

Karim, Adiwarman, Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014 Cet ke-6

Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT Indonesia, 2002

Pradja, Juhaya S., EKONOMI SYARIAH, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2012
Rianto, M. Nur, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Solo: Era Adicitra Intermedia,2011
Sudarsono, Heri, KONSEP EKONOMI ISLAM SUATU PENGANTAR, Yogyakarta:EKONISIA, 2007





[1] Boedi Abdullah, PERADABAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2011), hlm. 150
[2] Adiwarman, Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), Cet ke-6, hlm. 231-232
[3] Khalifah dinasti Abbasiyah
[4] Adiwarman, Azwar Karim, Sejarah Pemikiran..., hlm. 233
[5] Boedi Abdullah, PERADABAN.., hlm. 152
[6] Menyandarkan pemikirannya melalui aqal
[7] Boedi Abdullah, PERADABAN PEMIKIRAN…, hlm. 153
[8] Adiwarman, Azwar Karim, Sejarah Pemikiran..., hlm. 235
[9] Ibid…, hlm. 238
[10] Ibid…, hlm. 241
[11] Boedi Abdullah, PERADABAN PEMIKIRAN…, hlm. 160
[12] Ibid..., 163
[13] Heri Sudarsono, KONSEP EKONOMI ISLAM SUATU PENGANTAR, (Yogyakarta:EKONISIA, 2007) cet. Ke-V, hlm. 150.
[14] Heri Sudarsono, KONSEP EKONOMI ISLAM SUATU PENGANTAR, hlm. 152.
[15] Juhaya S. Pradja, EKONOMI SYARIAH, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2012) hlm. 44.
[16] M. Nur Rianto, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Solo: Era Adicitra Intermedia,2011) hlm. 180.
[17] Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002) hlm. 121.
[18] Ibid, 251.
[19] Ibid.
[20] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. hlm. 252.
[21] Ibid.                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar