A.
Latar Belakang
Kecenderungan kajian ekonomi Islam
belakangan ini masih terjebak pada kajian yang bersifat normatif. Kajian
tersebut masih berkisar pada penjelasan filosofis maupun normatifitas satu
kegiatan ekonomi. Oleh karenanya menarik untuk dibicarakan satu tokoh ekonomi
yang brilian di masanya, yaitu Abu Yusuf, yang terkenal dengan kitab Kharaj-nya
(Manual on Land Tax) yang hidup pada masa Khalifah Harun al-Rasyid untuk menemukan kembali
jejak-jejak pemikiran munculnya
konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman
tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam.
Pembahasan ini akan diawali dengan biografi Abu Yusuf, pemikiran ekonomi
Abu Yusuf mengenai negara dan aktifitas ekonomi, teori perpajakan, mekanisme
pasar dan diakhiri dengan kesimpulan sebagai kontekstualisasi pemikirannya pada
zaman sekarang.
B.
Pentingnya Pembuatan Makalah
Sebagai bahan eksplorasi konsep
ekonomi Islam pada zaman dahulu khususnya pada zaman Abu Yusuf serta
kontekstualisasinya di era sekarang ini.
C.
Rumusan
Masalah
1.1 Bagaimana Biografi
Imam Abu Yusuf sebagai tokoh dalam perekonomian Islam?
1.2 Bagaimana
Pemikiran Ekonomi menurut Imam Abu Yusuf?
1.3 Apa Pandangan
Imam Abu Yusuf mengenai Aktifitas Ekonomi dalam suatu Negara?
1.4 Bagaimana
Teori Perpajakan yang diusung oleh Imam Abu Yusuf?
1.5 Apa dan
Bagaimana Mekanisme Harga yang diusung oleh Imam Abu Yusuf?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Imam Abu Yusuf
Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ibrahim bin
Habib bin Khunais Bin Sa’ad Al-Anshari Al-Jalbi Al-Kufi Al-Baghdadi, atau yang
lebih dikenal sebagai Abu Yusuf. Dia lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M)
dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Dari nasab ibunya, ia
masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW.,
Sa’ad Al-Anshari. Keluarganya bukan berasal dari lingkungan berada, tetapi
sejak kecil, ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal
ini dipengaruhi oleh suasana Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat
peradaban Islam, tempat para cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia
Islam datang silih berganti untuk saling bertukar pikiran tentang berbagai
bidang keilmuan.[1]
Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak
ulama besar, seperti Abu Muhammad Atha bin As-Saib Al-Kufi, Sulaiman bin Mahran
Al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad
bin Ishaq bin Yassar bin Jabar, dan Al-Hajjaj bin Arthah. Selain itu, ia juga
menuntut ilmu kepada Abu Hanifah hingga sang guru tersebut meninggal dunia.[2]
Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang
oleh ketekunan dan kecerdasan, Abu Yusuf tumbuh sebagai seorang alim yang
sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun masyarakat
umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan
bermasyarakat. Bahkan, tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya.
Diantara tokoh besar yang menjadi muridnya adalah Muhammad bin Al-Hasan
Asy-Syaibani, Ahmad bin Hanbal, Yazid bin Harun Al-Wasithi. Disisi lain,
sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan
dan kedalaman ilmunya, Harun Ar-Rasyid[3] mengangkat Abu Yusuf sebagai Ketua Mahkamah
Agung (Qadhi Al-Qudhah).
Walaupun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar
dan birokrasi, Beliau masih meluangkan waktu untuk menulis. Salah satu karya Abu Yusuf yang
sangat monumental adalah Kitab Al-Kharaj (Buku tentang
Perpajakan). Penulisan Kitab Al-Kharaj versi Abu Yusuf didasarkan
pada perintah dan pertanyaan Khalifah Harun Ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan
perpajakan. Dengan demikian, Kitab Al-Kharaj mempunyai orientasi
birokratik karena ditulis untuk merespons permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid
yang ingin menjadikannya sebagai petunjuk administratif dalam rangka mengelola
lembaga Baitul mal dengan baik dan benar, sehingga negara dapat hidup
makmur dan rakyat tidak terzalimi.[4]
Sekalipun berjudul Al-Kharaj, kitab
tersebut tidak hanya mengandung pembahasan tentang Al-Kharaj, melainkan
juga meliputi berbagai sumber pendapatan negara lainnya, seperti ghanimah,
fai, kharaj, ushr, jizyah, dan shodaqoh, yang dilengkapi dengan
cara-cara mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis harta tersebut
sesuai dengan syariat Islam berdasarkan dalil naqliah (Al-Qur’an dan
Al-Hadits) dan dalil aqliah (rasional).
Seperti halnya kitab-kitab sejenis yang lahir
pada lima abad pertama Hijriah, penekanan kitab karya Abu Yusuf ini terletak
pada tanggung jawab pemguasa terhadap kesejahteraan rakyat. Secara umum, Kitab
Al-Kharaj berisi tentang berbagai ketentuan agama yang membahas persoalan
perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan publik. Dengan menggunakan
pendekatan pragmatis dan bercorak fiqh, buku ini tidak sekedar penjelasan
tentang sistem keuangan Islam, tetapi lebih dari itu, ia merupakan sebuah upaya
untuk membangun sistem keuangan yang mudah dilaksanakan sesuai dengan hukum
Islam dalam kondisi yang selalu berubah dan sesuai dengan persyaratan ekonomi.[5]
2.2 Pemikiran Ekonomi
Dengan latar belakang sebagai seorang fuqoha
yang beraliran ahl ar-ra’yu,[6] Abu Yusuf cenderumg memaparkan berbagai
pemikiran ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang
mendalam terhadap Al-Qur’an dan hadits Nabi, Atsar Shahabi, serta praktik
para penguasa yang saleh. Landasan pemikirannya, seperti yang telah disebutkan
adalah mewujudkan al-maslahah al-‘ammah (kemaslahatan umum). Pendekatan
ini memuat berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.[7]
Kemudian kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah
keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan
masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari
berbagai prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban negara terhadap
kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara
memperoleh sumber perbelanjaan untuk pembangunan jangka panjang, seperti
membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan
kecil.[8]
Suatu studi komparatif tentang pemikiran Abu
Yusuf menunjukkan bahwa berabad-abad sebelum adanya kajian yang sistematis
mengenai keuangan publik di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan
dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan pajak. Ia menolak tegas
pajak pertanian dan menekan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap para
pemungut pajak untuk menghindari korupsi dan tindakan penindasan.
2.3 Aktifitas Ekonomi pada Negara
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama
penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejateraan rakyat. Ia selalu
menekan pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek
yang berorientasi pada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Umar Ibn
Al-Khattab, ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang
memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka
yang memerintah, tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan.
Ketika berbicara tentang pengadaan fasilitas
infrastruktur, Abu Yusuf menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk
memenuhinya agar dapat meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran rakyat
serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan
bagi pengadaan proyek publik, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus
ditanggung oleh negara. Lebih jauh, ia menyatakan, “Jika proyek seperti itu
menghasilkan perkembangan dan peningkatan dalam kharaj, pemerintah harus
memerintahkan penggalian kanal-kanal ini. Semua biaya harus ditanggung oleh
keuangan negara. Jangan menarik biaya itu dari rakyat diwilayah tersebut karena
mereka seharusnya ditingkatkan, bukan dihancurkan. Setiap permintaan masyarakat
pembayar kharaj untuk perbaikan dan sebagainya, termasuk peningkatan dan
perbaikan tanah dan kanal mereka, harus dipenuhi selama hal itu tidak merusak
yang lain.
Untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan ekonomi,
negara membutuhkan administrasi yang efisien dan jujur serta disiplin moral yang
tegas dan rasa tanggung jawab dalam menunjuk para pejabatnya. Abu Yusuf
menyarankan agar negara menunjuk pejabat yang jujur dan amanah dalam berbagai
tugas. Ia juga berpendapat bahwa perlakuan yang adil dan jujur terhadap para
pembayar pajak tanpa penindasan memiliki dampak yang bermanfaat bagi
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan pajak. Ketika menekankan sifat administrasi yang baik, Abu Yusuf
menyatakan bahwa administrasi yang efisien dan jujur diperlukan untuk bekerja
dengan tegas tanpa sikap tirani dan sikap murah hati tanpa penindasan.[9]
Sesuai dengan ekonomi negara pada masa awal
Islam yang bertumpu pada hasil pertanian, para cendikiawan muslim banyak
menekan pada cara memanfaatkan tanah gersang yang tidak ditanami. Dalam hal
ini, Abu Yusuf mengatakan bahwa semua jenis tanah mati dan tak bertuan harus
diberikan kepada seseorang yang dapat mengembangkan dan menanaminya serta
membayar pajak yang diterapkan pada tanah tersebut. Tindakan seperti ini akan
membuat negara berkembang dan pajak pendapatan akan meningkat.
Untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan
menjamin pemanfaatan sumber-sumber sepenuhnya, Abu Yusuf berpendapat bahwa
sumber alam seperti air, rumput, dan sebagainya tidak boleh dibatasi pada
individu tertentu, tapi harus disediakan secara gratis bagi semua. Ia mengutip
sebuah hadits Nabi yang menyatakan, “Setelah
digunakan untuk kebutuhanmu, biarkanlah air itu mengalir ke tenggamu, yang
dimulai dari tetangga yang paling dekat.”
Dalam hal pendistribusian pendapatan negara,
Abu Yusuf mengingatkan bahwa hal tersebut ditujukan demi mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Al-Qur’an telah memerintahkan agar pendistribusian
harta dilakukan secara adil dan tidak menumpuk ditangan segelintir orang.
Berkaitan dengan hal ini, Abu Yusuf mengutip pernyataan Khalifah Umar ibn
Al-Khattab,
“ pajak dibenarkan jika dipungut dengan cara
yang adil dan sah dan digunakan secara adil dan sah pula. Berkaitan dengan
pajak yang dipungut, aku menganggap diriku sendiri seperti wali kekayaan
seorang anak yatim. Masyarakat memiliki hak untuk bertanya, apakah saya
menggunakan pajak yang terkumpul itu dengan cara yang sah.”[10]
2.4 Teori Perpajakan
Dalam hal perpajakan, Abu Yusuf telah
meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh
para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar,
pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuatan
keputusan dalam administrasi pajak merupakan beberapa prinsip yang
ditekankannya.
Dalam hal penetapan pajak, Abu Yusuf cenderung
menyetujui negara mengambil bagian dari para penggarap daripada menarik sewa
dari lahan pertanian. Menurutnya, cara ini lebih adil dan memberikan hasil
produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah
garapan. Dengan kata lain, ia lebih merekomendasikan penggunaan sistem muqasamah
(proporsional tax) dari pada sistem misahah (fixed tax)
yang telah berlaku sejak masa pemerintahan Khalifah Umar hingga periode awal
pemerintahan dinasti Abbasiyah.
Perubahan sistem penetapan pajak dari sistem misahah
menjadi sistem muqasamah sebenarnya telah dipelopori oleh muawiyah bi
Yasar, seorang wazir pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mahdi. Akan tetapi,
pada saat itu, presentase bagian negara umumnya dianggap terlalu tinggi oleh
para petani. Apa yang dilakukan oleh Abu Yusuf telah mengadopsi sistem muqasamah
dengan menetapkan presentase negara tidak memberatkan para petani.
Dalam pandangan Abu Yusuf, kondisi keuangan
yang ada menuntut perubahan sistem misahah yang sudah tidak efisien dan
tidak relevan pada masa hidupnya. Ia menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan
Khalifah Umar, ketika sistem misahah digunakan, sebagaian besar tanah
dapat ditanami dan hanya sebagian kecil yang tidak bisa ditanami. Wilayah yang
ditanami bersama sebagian kecil yang tidak ditanami diklasifikasikan menjadi satu
kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari tanah yang tidak ditanami.
Disisi lain, Abu Yusuf melihat bahwa pada
masanya ada wilayah yang tidak ditanami selama ratusan tahun dan para petani
tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupkannya. Dalam situasi demikian, pajak
yang menetapkan ukuran panen yang pasti atau jumlah uang tunai yang pasti akan
membebani para pembayar pajak dan hal itu dapat mengganggu kepentingan keuangan
publik.
Argumen Abu Yusuf tersebut menunjukkan bahwa
jumlah pajak yang pasti berdasarkan ukuran tanah (baik yang ditanami maupun
tidak) dibenarkan hanya jika tanah tersebut subur. Oleh karena itu, tidak
dibenarkan untuk membebani pajak yang pasti tanpa mempertimbangkan kesuburan
tanah tersebut karena hal itu akan memengaruhi para pemilik tanah yang tidak
subur.
Argumen kedua dan yang paling utama dalam
menentang sistem misahah adalah tidak adanya ketentuan apakah pajak
dikumpulkan dalam jumlah uang atau barang tertentu. Abu Yusuf menyadari
sepenuhnya dampak perubahan harga terhadap para pembayar pajak dan pendapatan
pemerintah apabila sistem misahah diterapkan dengan tarif yang pasti
dikenakan, baik dalam bentuk sejumlah uang tertentu maupun sejumlah barang
tertentu.
Lebih jauh lagi Abu Yusuf menekankan bahwa
metode penetapan pajak secara proporsional dapat meningkatkan pendapatan negara
dari pajak tanah dan, di sisi lain, mendorong para petani untuk meningkatkan
produksinya. Ia menyatakan,
“Dalam pandangan saya, sistem perpajakan
terbaik untuk menghasilkan pemasukan lebih banyak bagi keuangan negara dan yang
paling tepat untuk menghindari kezaliman terhadap para pembayar pajak oleh para
pengumpul pajak adalah pajak pertanian secara proporsional. Sistem ini akan
menghalau kezaliman terhadap para pembayar pajak dan menguntungkan keuangan negara.”[11]
Maka dari itu Abu Yusuf sangat merekomendasikan penyediaan fasilitas
infrastruktur bagi para petani. Dalam sistem misahah peningkatan produktifitas tidak
akan menguntungkan Negara. Dalam muqasamah, peningkatan dalam
produktifitas akan menguntungkan keuangan Negara dan sekaligus pembayaran
pajak. Dalam hal ini, dukungan terhadap penggunaan sistem muqasamah mengidentifikasikan bahwa beliau
lebih mengutamakan hasil dari tanah itu sendiri sebagai dasar pajak.
Sedangkan
terhadap administrasi keuangan, abu yusuf memiliki sebuah pandangan tentang
administrasi pajak dan dampaknya terhadap ekonomi. Penekanannya pada sifat administrasi pajak
terpusat pada penilaiannya terhadap lembaga qabalah yaitu sistem
pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin, dan
dalam hal ini abu yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan system
tersebut, karena pengumpulan pajak yang dilakukan tanpa adanya penjamin
(langsung) akan mendatangkan pemasukan yang lebih tinggi. System ini pun dapat menimbulkan tindakan
eksploitatif dan penindasan terhadap para petani serta menyebabkan efek
negative terhadap pendapatan pajak.
Untuk
mencapai prinsip keadilan dalam administrasi pajak, abu yusuf menyarankan agar
para penguasa membedakan antara tanah yang tandus dan tanah yang subur,
mengenai efesiensi dalam pengumpulan pajak, ia menyarankan agar pajak dipungut
tanpa penundaan karena akan menimbulkan kerusakan pada hasil pertanian yang
berarti dapat memberikan efek negative terhadap Negara, pembayaran pajak,
sekaligus memperlambat perkembangan pertanian.[12]
Kharaj adalah pajak tanah yang yang dikuasai oleh
kaum muslim, baik karena peperangan maupun karena pemiliknya mengadakan
perjanjian damai dengan pasukan muslim. Mereka tetap menjadi pemilik sah dari
tanah-tanahnya tetapi dengan membayar pajak (kharaj) sejumlah tertentu
kepada Baitul Mal. Sedangkan usyur merupakan bentuk jama’
dari kata usyr artinya sepersepuluh atau 10 persen. Ia merujuk kepada kadar zakat
pertanian dan bea cukai yang dikenakan kepada pedagang muslim maupun nonmuslim
yang melintasi wilayah Daulah Islamiyah.[13]
Terlepas dari prinsip-prinsip perpajakan, dan
pertanggungjawaban negara Islam terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan
beberapa saran tentang cara-cara mendapatkan sumber perbelanjaan untuk
pembangunan jangka panjang seperti pembangunan jembatan, dan bendungan, serta
menggali saluran-saluran besar dan kecil.[14]
Dengan kata lain tema sentral pemikiran
ekonominya menekan pada tanggung jawab penguasa untk menyejahterakan rakyatnya.
Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang pada kemudian hari
diambil oleh para ahli ekonomi sebagai canon of taxation.[15]
2.5 Mekanisme Harga
Abu
yusuf juga tercatat sebagai ulama yang memulai menyinggung mekanisme pasar, ia
memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan
perubahan harga. Fenomena yang terjadi pada masa itu adalah ketika terjadinya
kelangkaan barang maka harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut
melimpah, maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah.[16]
Dengan
kata lain, pemahaman yang terjadi pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas
hanya memperhatikan kurva permintaan.
Dalam literatur kontemporer fenomena ini dapat dijelaskan dalam teori permintaan, yang menjelaskan
hubungan antara harga dengan banyaknya
kuantitas yang diminta.[17]

Formulasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan
suatu komoditi adalah negatif, yaitu apabila harga (P) naik makan kuantitas (Q)
turun, begitu juga sebaliknya jika harga (P) turun maka kuantitas (Q) menjadi
naik.
Fenomena umum inilah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf dengan
tegas. Berdasarkan observasinya dalam memperhatikan peningkatan dan
penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga, beliau menyatakan
bahwa persediaan barang yang sedikit tidak selalu mengakibatkan harga akan
mahal, dan bila persediaan barang banyak atau melimpah, harga pun tidak selalu
akan turun.[18]
Abu Yusuf berkata: “kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal
dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.”

Menurut Abu Yusuf, dapat saja harga-harga tetap mahal (P), ketika
persediaan barang melimpah (Q), sementara harga akan murah walaupun
persediaan barang berkurang (Q). Formulasi ini menunjukkan adanya
kesamaan dalam hukum penawaran dimana hubungan antara harga
dengan banyaknya komodoti yang ditawarkan mempunyai kemiringan
positif.[19]
Bila harga komoditi naik, maka akan direspon oleh penambahan
jumlah komoditi yang ditawarkan. Begitu juga apabila harga komoditi
turun, maka akan direspon oleh penurunan jumlah komoditi yang ditawarkan.[20]
Berdasarkan latar belakang di atas Abu Yusuf kemudian mengeluarkan
analisis ekonominya terkait pengendalian harga (tas’ir). Beliau
melarang penguasa yang melakukan penetapan harga. Hal itu dikarenakan murahnya suatu harga bukan berarti karena
melimpahnya suatu komoditas barang, demikian juga mahalnya harga bukan berarti disebabkan
oleh kelangkaan suatu komoditas. Karena murah dan mahal merupakan ketentuan
Allah SWT. Abu Yusuf mengindikasikan adanya variabel-variabel lain yang juga
turut mempengaruhi naik turunnya harga, misalnya jumlah uang yang beredar di
negara itu, penimbunan, penahanan barang, atau lainnya.
Untuk menguatkan pendapatnya tersebut beliau melandasinya dengan
hadis yang menyatakan larangan pengendalian harga,
قال وحدَّ ثَني سُفْيَا نُ بْنٍ عُيَيْنَة
عَنْ أيُّوْبٍ عَنْ الْحسَنِ قَال غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولٍ اللّهِ صَلَى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقال النَّاسُ يَا رَسُو ل اللّه ألاَتُسَعِّرْلَنَا فَقَالَ صَلَى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ اللّهَ هُوَالْمُسَعِّرُإنَّ اللّهَ هُوَالْقَا بِضُ إنَّ
اللّهَ هُوَ الْبَا سِطُ وَإنِّي واللّهِ مَا أُ عْطِيْكُمْ شَيْئًا وَلاَ أُمْنِعُكُمُوهُ
وَلَكِنْ إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ أَضَعُ هَذَا الأمْرَحَيْث أُمِرْتُ وَإِنِّيْ
لَأجُو أنْ ألْقَى اللّهَ وَلَيْسَ أحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ
ظَلَمْتهَاإيّاهُ فِى نَفْسٍ وَلاَدَمٍ وَلاَمَالٍ
Artinya: Dia berkata: Sufyan bin Uyainah
menceritakan kepadaku dari Ayyub dari Hasan, dia
berkata: Pada masa Rasulullah Saw pernah terjadi kenaikan harga. Orang-orang berkata: Mengapa engkau tidak menetapkan harga untuk kami. Nabi Saw menjawab: Sesungguhnya Allahlah yang menentukan harga, yang menahan dan memberikan (rezeki). Demi Allah, aku tidak memberikan dan menahan sesuatu kepada kalian, aku
hanyalah yang
menyimpan (sesuatu) aku melakukan urusan ini sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadaku. Dan aku berharap dapat menemui Allah dimana tidak ada salah seorang pun yang menuntutku karena
kezaliman yang aku
lakukan padanya menyangkut jiwa, darah dan harta.
Persoalan harga baik naik maupun turun merupakansunnatullah dalam
perekonomian menurut kenormalan dalam batasan pasar
sempurna, dimana naik turunnya harga merupakan hasil dari permintaan
dan penawaran yang terjadi di pasar. Pertemuan permintaan dan
penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang
merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada suatu tingkat harga.
Dengan demikian, konsep harga pada keadaan ini mempunyai
implikasi
penting dalam ilmu ekonomi, yaitu keadaan pasar yang kompetitif
(sempurna).
Namun jika dalam hal
adanya praktik tidak terpuji (rekayasa harga), maka Islam mengajarkan konsep
intervensi otoritas resmi yang diberikan kepada pemerintah untuk mengeluarkan
kebijakan pengendalian harga dan pematokan harga yang dikenal dengan istilah tas’ir
jabari, yakni penetapan harga secara paksa karena pertimbangan kemaslahatan
secara umum.
Penting untuk diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya
memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah suplai bahan
makanan dan mereka menghindari kontrol harga. Kecenderungan yang ada
dalam pemikiran ekonomi Islam adalah membersihkan pasar dari praktik
penimbunan, monopoli, dan praktek korup lainnya dan kemudian membiarkan
penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran.[21]
BAB III
SIMPULAN
Imam
Abu yusuf menekankan terhadap tanggungjawab penguasa dalam pemikiran ekonomi
islamnya, sehingga beliau pun mengirimkan surat kepada Khalifah Harun
Al-Rasyid, surat ini berisikan mengenai pembahasan tentang pertanian dan
perpajakan.
Imam Abu yusuf menyetujui Negara mengambil bagian dari hasil
pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam
pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi
yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan.
Sedangkan dalam hal pajak, beliau meletakkan prinsip-prinsip yang
jelas yang akhirnya dikenal oleh para ekonom sebagai canons of taxation.
Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan
sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah merupakan
prinsip yang ditekankannya. Dalam hal in pun abu yusuf dengan keras menentang
pajak pertanian. Ia menyarankan agar petugas pajak diberi gaji dan perilaku
mereka harus selalu diawasi untuk mencegah korupsi dan praktik penindasan.
Kemudian mengenai analisis ekonomi, imam abu yusuf menekankan
masalah pengendalian harga (tasir) yang kemudian menjadi sebuah
kontroversi. Beliau menentang penguasa yang menetapkan harga, abu yusuf
menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan bukan alas an untuk
menurunkan harga panen dan juga sebaliknya, kelangkaan sendiri tidak
mengakibatkan harga menjadi melambung. Karena ada sebuah kemungkinan bahwa
kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan
berdampingan dengan harga yang rendah, namun abu yusuf pun tidak menolak
permintaan dan penawaran dalam penentuan harga. Dan juga kekuatan utama imam
abu yusuf adalah dalam hal keuangan publik.
Daftar Pustaka
Abdullah Boedi, PERADABAN PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM, Bandung: CV
PUSTAKA SETIA, 2011
Karim, Adiwarman,
Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014 Cet ke-6
Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Mikro
Islami, Jakarta: IIIT Indonesia, 2002
Pradja, Juhaya S., EKONOMI SYARIAH, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2012
Rianto, M.
Nur, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Solo: Era Adicitra Intermedia,2011
Sudarsono, Heri, KONSEP EKONOMI ISLAM SUATU PENGANTAR,
Yogyakarta:EKONISIA, 2007
[2] Adiwarman,
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014), Cet ke-6, hlm. 231-232
[4] Adiwarman,
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran..., hlm. 233
[8] Adiwarman,
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran..., hlm. 235
[12] Ibid..., 163
[13] Heri Sudarsono, KONSEP EKONOMI ISLAM SUATU PENGANTAR,
(Yogyakarta:EKONISIA, 2007) cet. Ke-V, hlm. 150.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar